Ringkasan:
● Everyday religious freedom menyoroti kebebasan beragama yang muncul dalam praktik dan relasi sehari-hari.
● Studi Cao menunjukkan sinicization sebagai proses kultural diaspora, bukan sekadar kontrol negara.
● Kebebasan beragama dipahami sebagai pengalaman situasional yang dinegosiasikan di ruang domestik dan transnasional.
Oleh: Tedi Kholiludin | Republikasi dari elsaonline
Salah satu gagasan kebebasan beragama yang jarang dibahas, tetapi sejatinya sangat potensial untuk dikembangkan dengan merujuk pada praktik keseharian adalah “everyday religious freedom.” Secara literal, frasa ini dimengerti sebagai kebebasan beragama sehari-hari. Meski begitu, secara konseptual maknanya lebih luas dibandingkan arti literalnya. Gagasan tersebut dipahami sebagai sesuatu yang dialami dalam rutinitas, bukan hanya dalam kerangka hukum formal.
Everyday religious freedom juga dapat ditautkan dengan pengertian “kebebasan beragama dalam kehidupan sehari-hari” yang sejatinya memiliki makna kurang lebih sama dengan kebebasan beragama yang terejawantah dalam interaksi, praktik, dan pengalaman keseharian. Pengertian lain dari everyday religious freedom adalah praktik kebebasan beragama sehari-hari. Dengan begitu, penekanannya terletak pada dimensi performatif, relasional, dan embodied (terwujud/termateri). Aktivitas seperti berdoa, beribadah di rumah, berdiskusi tentang iman, memilih komunitas, atau menegosiasikan identitas dalam keluarga menjadi contoh yang sangat dekat dengan kerangka lived religion (agama yang dihidupi).
Bacaan yang dapat dirujuk untuk mendapatkan potret mengenai everyday religious freedom adalah artikel “Everyday Religious Freedom in the Expansion of Chinese Christianity in Europe,” yang ditulis oleh Nanlai Cao (2024). Menurut Cao, pengajar di Department of Chinese and History, City University of Hong Kong, Hong Kong SAR, China, terdapat narasi “kebebasan beragama sehari-hari” saat menjelaskan bagaimana orang Kristen Tionghoa mencari dan mempraktikkan kebebasan beragama, baik di Tiongkok maupun di diaspora Tionghoa di Eropa.
Cao menggunakan kerangka berpikir Nancy T. Ammerman tentang everyday religion untuk menghadirkan data yang lebih bernuansa tentang agama yang dialami manusia nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari, di luar lokasi-lokasi religius yang “normal” maupun situasi-situasi yang bersifat normatif. Di sini, Cao mengenalkan istilah sinicization of religions atau Cinaisasi Agama. Untuk menjelaskan ini, ia menulis artikel A Sinicized World Religion?: Chinese Christianity at the Contemporary Moment of Globalization (2019).
Dalam konteks Tiongkok, “sinicization of religions” merujuk pada proyek negara untuk mengooptasi agama dan menyesuaikannya dengan ideologi sosialisme—sebuah proses top-down yang menekankan kontrol politik. Dalam riset Cao tentang kelompok diaspora, sinicization justru dipahami sebagai proses kultural dari bawah (bottom-up), ketika umat Tionghoa mengolah dan menyesuaikan Kekristenan dengan identitas, jaringan bisnis, dan kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, sinicization bukan hanya alat negara, tetapi juga bentuk kreatif lokalisasi agama oleh komunitas Tionghoa sendiri.
Di Tiongkok, kata Cao, negara atau partai yang kuat melakukan kooptasi terhadap agama. Namun, ia menunjukkan bahwa dalam kisah ekspansi Kekristenan Tionghoa diaspora di Eropa terdapat bentuk kooptasi yang “terbalik,” yakni bagaimana agama justru memanfaatkan negara. Ketika melaksanakan misi keagamaan, orang-orang Kristen Tionghoa yang secara sosial dan geografis sangat mobile memperoleh keuntungan dari relasi gereja–negara yang terkonfigurasi ulang dalam konteks diaspora. Komunitas-komunitas ini menjalankan ritual dan praktik keagamaan dalam keluarga maupun gereja diaspora, sehingga mengalami kebebasan beragama yang berbeda dari kondisi di tanah asal mereka.
Everyday religious freedom, menurut Cao, tergambar pada kebebasan beragama sebagaimana dijalani dan dinegosiasikan umat Kristen Tionghoa dalam praktik keseharian mereka, terutama di ruang-ruang nonresmi seperti keluarga, jaringan diaspora, dan komunitas informal. Kebebasan ini tidak terutama bergantung pada negara, melainkan muncul dari relasi sosial, mobilitas ekonomi, dan ruang-ruang transnasional yang mereka masuki. Dengan demikian, kebebasan beragama dipahami sebagai pengalaman yang hidup dan situasional, bukan sekadar jaminan hukum.
Yang menarik, tulisan Cao kemudian ia hubungkan dengan ukuran kebebasan beragama yang selama ini menghadapkan hubungan negara dengan agama secara diametral. Selama ini diasumsikan negara adalah penguasa, pengatur, dan pembatas, sementara agama berada di seberang sebagai pihak yang diatur atau dilindungi. Relasi keduanya dilihat semata-mata sebagai dua rumus: negara menindas agama atau negara melindungi agama.
Cao menolak gambaran ini. Ketika ia meneliti komunitas Kristen Tionghoa, agama tidak selalu “dikontrol negara.” Pada satu kesempatan, agama dapat menghindar, menegosiasi, bahkan memanfaatkan struktur negara. Relasi agama dengan negara tidak selalu berjalan dua arah, melainkan multidimensional, penuh ruang abu-abu, dan sarat strategi informal. Kebebasan beragama tidak bisa dipahami hanya melalui hukum negara atau relasi formal agama–negara. Ia ada di ruang-ruang kecil, domestik, mobilitas diaspora, jaringan informal, dan ruang transnasional. Inilah yang disebut sebagai everyday religious freedom.
Selama ini, pemahaman kebebasan beragama sering kali terpusat pada negara, tetapi Cao menawarkan pemahaman baru bahwa kebebasan beragama dapat muncul di luar negara, dalam ruang-ruang keseharian, dan berasal dari praktik sosial komunitas non-Barat. Jika studi kebebasan beragama selama ini didominasi oleh kovenan hak sipil dan politik, jaminan konstitusional, dan seterusnya, menurut Cao tidak seluruh pengalaman kebebasan beragama tergambarkan oleh kerangka tersebut. Terdapat bentuk kebebasan beragama seperti yang ditemukannya dalam diaspora Tionghoa.
Dalam praktik keseharian, terdapat model kebebasan beragama yang terjadi di rumah, bukan di ruang publik. Ada pula model kebebasan yang dicapai melalui jejaring ekonomi, serta kebebasan yang dinegosiasikan di luar negara. Kebebasan beragama juga hadir sebagai efek samping mobilitas bisnis global, kebebasan tanpa gereja resmi, serta kebebasan tanpa pengakuan negara. Ada cara-cara non-Barat untuk “menjadi bebas dalam beragama.”
Editor: Andrianor








Leave a Reply