Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Gerakan Lintas Iman dan Resiliensi Masyarakat

Designed by rawpixel.com / Freepik

Ringkasan:
● Resiliensi menjadi fokus baru dalam menghadapi tekanan sosial, politik, dan kebebasan beragama.
● Pegiat lintas iman mendorong penguatan akar rumput yang inklusif dan memberdayakan penyintas intoleransi.
● Gerakan lintas iman diarahkan pada spiritualitas ugahari dan perubahan kecil yang bermakna.

Oleh: Risdo Simangunsong | Republikasi dari Jakatarub

Resiliensi sebagai Napas Perjuangan

Resiliensi merupakan kata yang belakangan kian berseliweran dalam diskusi, program, hingga prioritas di kalangan pegiat isu kemanusiaan Indonesia. Setidaknya kata itu dipakai dalam beberapa konteks: mitigasi bencana, kelestarian lingkungan, kesehatan mental, ketimpangan sosial-ekonomi, maupun perjuangan masyarakat demokratis menghadapi represi.

Pegiat lintas iman mungkin juga kini lebih sering menggunakan kata tersebut. Meskipun frasa dengan nuansa optimistis seperti membangun kerukunan, bina damai, mediasi/transformasi konflik, moderasi beragama, atau frasa ideal seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan masih terbilang lebih populer, penekanan pada resiliensi agaknya punya cerita tersendiri sekarang.

Resiliensi merupakan kata yang kuat. Selain menggambarkan ideal perjuangan, kata ini juga menyorot perasaan tertekan, terluka, serta upaya realistis untuk menjadi tangguh, tahan, sekaligus tanggap dalam perjalanan perjuangan itu. Kata ini semakin terasa relevansinya jika kita belum bisa optimistis, bahkan mungkin akan lebih pesimistis, terhadap kondisi masa depan. Demikian juga terhadap pihak besar atau elite yang kita harapkan bisa memperbaiki situasi.

Untuk konteks Indonesia, tentu saja hal itu terasa. Di situasi negeri kita belakangan ini, kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah dan perilaku pejabat publik, kekhawatiran akan semakin meningkatnya represi, serta pandangan pesimistis terhadap pertumbuhan ekonomi mungkin membuat masyarakat semakin berpikir akan pentingnya mengusahakan resiliensi.

Dalam isu lintas iman, adanya aturan baru seperti tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan dalam KUHP Nasional masih mendatangkan kekhawatiran, meskipun diklaim mendorong perlindungan. Demikian pula penanganan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan atau komitmen pemerintah atasnya, belum menunjukkan kemajuan yang meyakinkan.

Menguatkan Gerakan Akar Rumput

Maka dari itu, wajar sekali jika pegiat lintas iman menoleh pada resiliensi masyarakat. Mereka mendorong agar akar rumput menjadi semakin inklusif dan toleran, sekaligus agar para penyintas diskriminasi dan intoleransi menjadi semakin berdaya. Hal ini berarti tidak melulu berharap pada skala makro dan berfokus pada pemegang kekuasaan.

Namun, ini bukanlah langkah kehilangan harapan. Dalam perspektif umat beriman, ini bisa jadi jalan kembali pada spiritualitas ugahari yang mungkin telah kita tinggalkan. Yaitu menghargai pengalaman perubahan kecil individu dan komunitas alih-alih silau mengharap perubahan besar. Merayakan inisiatif baik dan suara kecil dari kelompok marginal alih-alih melulu berharap pada elite dan penguasa. Serta, menekuni proses yang berliku dan penuh tantangan, alih-alih memuja kemajuan simbolik prosedural.

Barangkali di situasi seperti ini, gerakan lintas iman dapat membantu menuntun dan membekali, sekaligus dikoreksi oleh, jalan spiritual menuju resiliensi masyarakat…

Editor: Andrianor