Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Orang Muda Vs Toleransi Murahan

Ringkasan:
● Kebebasan beragama di Indonesia tergerus oleh negara, aparat, dan ormas melalui toleransi semu.
● Toleransi murahan memosisikan minoritas sebagai objek belas kasih mayoritas, bukan warga setara.
● Orang muda menuntut toleransi mahal berbasis kesetaraan, inklusivitas, dan perlindungan hak nyata.

Oleh: M. Naufal Waliyuddin | Republikasi dari Rumah KitaB

Menjelang pergantian tahun, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih belum layak dibanggakan. Dalam kurun setengah tahun saja, Lembaga Imparsial mencatat adanya 13 kasus pelanggaran KBB, dan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbesar (9 kasus). Daftar pelanggaran tersebut meliputi penutupan atau pembatasan rumah ibadah, pelarangan aktivitas ibadah, serta pelanggaran terhadap hak dan rasa aman.

Tentu, potret demikian masih belum berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya. SETARA Institute melaporkan bahwa pada tahun 2024 terdapat sekitar 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran KBB. Aktor nonnegara masih mendominasi dengan 243 tindakan, sementara aktor negara tercatat melakukan 159 tindakan. Dari masing-masing kategori, aktor nonnegara yang paling banyak menjadi pelaku pelanggaran KBB adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan (49 tindakan). Adapun dari aktor negara, pelanggaran paling banyak justru dilakukan oleh pemerintah daerah (50 tindakan) dan kepolisian (30 tindakan). Dari data tersebut, kita dapat mengamati bahwa kondisi KBB kita sedang remuk, justru karena kontribusi besar dari sektor pemerintah, aparat keamanan, dan organisasi keagamaan yang tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.

Sering kali, mereka mengatasnamakan “ketertiban umum” sebagai dalih untuk melakukan pelanggaran KBB. Padahal, kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin oleh negara melalui Pasal 28E dan Pasal 29 UUD 1945, dan tidak dapat dikorting dalam keadaan apa pun. Namun, yang sering kita jumpai adalah, alih-alih melindungi korban—yang biasanya berasal dari kelompok minoritas—pemerintah justru kerap memilih jalan pintas dengan membatasi korban, bukannya menindak tegas para pelaku yang dalam banyak kasus merupakan kerumunan.

Dalam situasi demikian, pada akhirnya kelompok rentanlah yang menanggung risiko terbesar sekaligus menuai konsekuensi yang tidak murah dari malfungsinya pemerintah. Apabila dibiarkan terus-menerus, panorama semacam ini dapat menjadi semakin parah dan berkembang menjadi “intoleransi yang terlembaga” (institutionalized intolerance).

Indikasi ke arah tersebut telah ditandai oleh regulasi di negara ini yang masih diskriminatif terhadap sejumlah kelompok. Catatan SETARA Institute menunjukkan bahwa terdapat sedikitnya 71 produk hukum diskriminatif terhadap kelompok minoritas, yang berdampak hingga ke aspek politik, hak kewargaan, ekonomi, sosial, dan budaya.

Contohnya merentang dari Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pembatasan jemaat Ahmadiyah, pencaplokan wilayah masyarakat adat oleh perusahaan yang direstui negara, hingga persoalan IMB yang bersifat pilih kasih. Yang menyedihkan dari rentetan fakta tersebut adalah pemerintah yang masih sering mengobral citra harmonis dan narasi toleransi—yang pada kenyataannya masih dangkal dan seremonial.

Namun, patut disyukuri bahwa orang muda kita kian cerdas dan tidak mudah tertipu oleh propaganda yang digulirkan pemerintah. Kendati dari hari ke hari masa depan pemuda semakin direnggut oleh para oligarki rakus dan perusak lingkungan yang sesungguhnya, generasi muda kita tetap menunjukkan sikap kritis dalam menyoroti persoalan KBB di tanah air.

Imajinasi Baru tentang Toleransi ala Kaum Muda

Dalam rentang tahun-tahun riset disertasi saya, saya menemukan banyak kaum muda yang semakin melek terhadap isu politik dan problem struktural-historis yang mendasari fenomena intoleransi di negeri ini. Mereka telah menyadari bahwa toleransi ala pemerintah masih merupakan toleransi murahan: sebuah situasi ketika pemerintah dan warga yang terperdaya olehnya kerap mempertontonkan toleransi sebagai sikap, ketika individu atau kelompok yang lebih berkuasa dan memiliki privilese sebenarnya mampu untuk merepresi, tetapi memilih untuk tidak melakukannya—atau sekadar menundanya.

Di sinilah letak toleransi murah tersebut: toleransi dimaknai sebagai “kedermawanan” kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Ilustrasi gamblangnya kira-kira berbunyi demikian: “Kami mayoritas sudah berbuat baik kepada kalian, jadi jangan macam-macam. Kalau kami atur, kalian harus patuh.”

Model toleransi murahan semacam ini secara diam-diam mengandung rasa permusuhan tersembunyi (covert animosity). Masing-masing kelompok sejatinya hanya sedang menahan diri. Sopan santun terasa dibuat-buat, dan kita terkurung dalam sangkar budaya yang saling memisahkan. Ketegangan dipendam, rasa hormat hanya tampil sebagai basa-basi, bukan sebagai sikap yang lahir dari penghayatan penuh dan penghargaan mendalam atas sesama manusia. Ihwal semacam ini berpotensi menjadi bom waktu yang sukar diprediksi kapan akan meledak. Alhasil, toleransi yang dipromosikan negara nyaris berada pada level yang “belum jelek saja”.

Di tengah kondisi tersebut, banyak orang muda kita telah menyadari kompleksitas masalah ini. Dari para narasumber muda yang menemani dan membantu riset saya terkait relasi lintas iman dan pembangunan perdamaian sehari-hari (everyday peacebuilding), banyak di antara mereka memahami bahwa kolom agama di KTP—yang mulai diberlakukan pada 1967—merupakan produk diskriminatif rezim Soeharto untuk mengidentifikasi, mengadu domba, sekaligus memberantas musuh-musuh politiknya.

Salah satu efek domino yang bertahan hingga hari ini adalah para penghayat kepercayaan dan masyarakat adat dipaksa untuk menganut salah satu dari enam agama resmi yang diakui negara. Dengan kata lain, hak mereka untuk memeluk, meyakini, dan menjalankan ritual ibadah sesuai keyakinan mereka sendiri telah direnggut oleh regulasi buatan Soeharto tersebut. Dan banyak kaum muda hari ini telah mengetahui fakta ini.

Berbekal pengetahuan dan kesadaran atas setumpuk persoalan KBB tersebut, orang muda lintas iman saat ini mengupayakan sejumlah aspirasi penting. Pertama, perlunya “toleransi yang adil dan penuh”, yakni kondisi ketika setiap orang berhak menjadi dirinya sendiri dan memeluk kepercayaannya secara utuh—tanpa dihalangi, tanpa didiskriminasi, apalagi dipinggirkan oleh negara dan pemerintahnya sendiri. Ini jelas menuntut toleransi yang mahal: pengakuan atas kesetaraan sebagai nilai pada dirinya sendiri, tanpa menghiraukan relasi kuasa (Costly Tolerance, 2018).

Konsep utamanya adalah pengendalian diri dan rasa saling menghargai yang lahir dari rahim kemanusiaan, bukan semata-mata karena takut dianggap tidak sopan atau sekadar demi menjaga ketertiban umum. Karena itu, unsur dialog dan penyediaan ruang aman menjadi sangat penting, agar kelompok-kelompok berbeda dapat saling bertukar pikiran secara empatik, tanpa rasa takut disudutkan atau diusir dari negeri ini.

Kedua, banyak kaum muda lintas iman menyampaikan aspirasi kepada saya mengenai pentingnya mendesak penghapusan kolom agama pada KTP. Hal ini dimaksudkan untuk membuka ruang publik yang lebih luas, agar para penghayat kepercayaan dan masyarakat adat tidak lagi diperlakukan sebagai pelengkap penderita—yang suaranya hanya dipanen saat pemilu, lalu diabaikan, bahkan diusir dan tidak diakui ketika menuntut haknya.

Ketiga, pendidikan inklusif yang menyeluruh. Hambatan yang kerap muncul adalah pemahaman tentang inklusivitas yang masih dibatasi pada penyertaan kelompok disabilitas, padahal maknanya jauh lebih luas. Perlu adanya pengakomodasian bagi para penghayat, Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok minoritas lainnya agar memperoleh pendidikan keagamaan di ruang-ruang pendidikan negeri—yang saat ini mayoritas diisi oleh mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Dari langkah-langkah kecil ini, perlu pula disisipkan praktik langsung untuk berinteraksi secara empatik dan manusiawi dengan mereka yang berbeda: bahwa darah kita sama-sama merah dan udara yang kita hirup pun sama—sehingga tidak ada alasan untuk saling mengusir, melukai, apalagi membinasakan.

Keempat, terdapat aspirasi mengenai pentingnya penyediaan regulasi yang melindungi hak pernikahan lintas iman. Sebab, di negeri ini, negara bahkan terlalu jauh mencampuri urusan relasi asmara dua insan, hingga keputusan mengenai dengan siapa seseorang akan membangun masa depan dapat dianulir oleh negara.

Dari seluruh aspirasi tersebut, tampak jelas bahwa orang muda hari ini tidak ingin terjebak dalam versi toleransi murahan ala negara dan pemerintah. Mereka mulai menganyam dan merumuskan masa depan seperti apa yang ingin mereka huni. Toleransi yang hanya ramai di bibir, di podium, dan di seminar-seminar—sementara ratusan ribu orang direnggut hak-haknya—bukanlah toleransi yang mereka idamkan. Karena itu, pemerintah perlu mencamkan hal ini baik-baik. Mereka sebentar lagi akan meruntuhkan “bangunan naratif usang” yang telah diciptakan para penguasa. Duduk manis dan tunggu saja kelengseranmu!

Editor: Andrianor