Meskipun kami telah menerima berbagai penghargaan nasional dan internasional, hak-hak kami atas tanah dan alam masih dirampas,” ujar Apai Janggut, Kepala Suku Dayak Iban, Sungai Utik. Raymundus, Kepala Desa Sungai Utik, menambahkan bahwa masyarakat adat terus perlu mendapat dukungan agar mampu secara mandiri memperjuangkan hak-hak mereka yang terancam dari berbagai aspek. “Kami sudah mengalami diskriminasi sejak lama,” jelasnya dalam Sidang Pleno yang bertema “Kontestasi antara Nilai-nilai Universal dan Lokal”, di Universitas Panca Bhakti, Pontianak, Senin (28/11).
Sandra Hamid, perwakilan Indonesia untuk The Asia Foundation, menekankan pentingnya pelibatan seluruh lapisan masyarakat yang seharusnya mengambil peran kunci dalam upaya pemenuhan hak-hak kewarganegaraan. Di sisi lain, kita tidak boleh melabeli masyarakat adat sebagai kelompok warga negara ‘yang lain’ yang dianggap berbeda dengan warga negara pada umumnya. Menurutnya, hal ini akan melanggengkan pembedaan dan pengasingan masyarakat adat.
Dewi Candraningrum, pendiri Jejer Wadon, menambahkan bahwa subjek yang sering disebut sebagai liyan (the other) yang tersisih dan terpinggirkan perlu diikutsertakan agar suara mereka juga terdengar dalam wacana kewarganegaraan. Ia juga menekankan bahwa nilai-nilai universal tidak boleh diesensialisasikan sebagai standar untuk menentukan nilai-nilai lokal karena hal tersebut dapat menimbulkan diskriminasi.
Selain membahas kontestasi nilai-nilai lokal dan universal, konferensi ini juga mengangkat wacana moderasi beragama dalam kerangka demokrasi inklusif. Mark Woodward memberikan catatan kritis terhadap moderasi agama, menekankan agar moderasi agama tidak disalahgunakan sebagai alat politik untuk menyingkirkan pihak-pihak yang dianggap tidak pro-pemerintah.
Romo Bagus Laksana, rektor Universitas Sanata Dharma, menjelaskan bahwa moderasi beragama harus mengakui kemajemukan dan kesetaraan agama, termasuk agama-agama leluhur , mengkontekstualisasikan agama dengan budaya dan kearifan lokal, hibriditas agama, dan melibatkan semua elemen masyarakat.
Sementara itu, Nur Rofiah, dosen UIN Jakarta, menggarisbawahi pentingnya menempatkan moderasi beragama dalam konteks misi agama-agama, yaitu mengupayakan skema kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta. Pada tema lain, yakni regulasi pemajuan kebudayaan, Semiarto Aji, dekan FISIP Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa kebudayaan harus selalu ditempatkan dalam relasi dengan masyarakat, di mana kebudayaan itu dibentuk, dihidupi, dan terus bertransformasi.
Terkait hal ini, Yekti Maunati mencatat pentingnya memahami kemajemukan masyarakat. Masyarakat Dayak yang ia teliti, misalnya, tidak dapat disederhanakan secara homogen, karena ada keragaman di dalamnya.
Namun, Ihsan Ali-Fauzi melihat bahwa instrumen kebijakan ini menunjukkan adanya progresivitas dari cara pandang pemerintah dalam melihat kebudayaan karena istilah yang digunakan adalah ‘pemajuan’ dan bukan ‘pelestarian’. Artinya, ada niatan tersendiri untuk memastikan keberlangsungan dan juga praktik-praktik kebudayaan di masyarakat.
Acara tahunan keempat ini memiliki tema utama “Demokrasi Inklusif: Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua”. Tema ini muncul dari konteks demokratisasi yang cenderung menurun di Indonesia akhir-akhir ini. Kemunduran demokrasi ini ditandai dengan menyempitnya ruang sipil, maraknya pembelahan politik, intoleransi, dan sektarianisme, yang dampaknya sangat dirasakan oleh kelompok-kelompok rentan, termasuk masyarakat adat.
Konferensi ini menerima hampir 200 abstrak. Sebanyak 110 abstrak yang diterima dipresentasikan dalam sesi panel selama konferensi yang berlangsung secara hybrid pada hari Senin-Rabu, 28-30 November 2022. Tuan rumah untuk konferensi internasional ini adalah Universitas Panca Bhakti Pontianak, Studi Agama-Agama (SAA) IAIN Pontianak, dan Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak (StakatN).
Acara ini diselenggarakan atas kerja sama dengan 16 institusi yang terdiri dari lembaga pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Acara ini juga didukung oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Koalisi Oslo untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan; BYU Law International Center for Religion Studies; dan The Asia Foundation.
Konferensi ini ditutup dengan konsolidasi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk mewujudkan demokrasi inklusif bagi para penghayat kepercayaan di Indonesia. Konsolidasi CSO dilakukan pada hari ketiga di Hotel Neo Gajah Mada Pontianak dan dihadiri oleh 25 kementerian dan lembaga pemerintah. Konsolidasi ini diusulkan untuk memberikan ruang bagi setiap lembaga yang ada untuk membangun koordinasi dan kolaborasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Liputan di atas merupakan terjemahan dari tulisan berbahasa Inggris yang sudah dimuat dalam https://icir.or.id/
Leave a Reply