Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Agama, Keadilan, dan Belas Kasih: Warisan Keteladanan Paus Fransiskus

Penulis: Putri Nur Habibah

Dalam rangka mengenang mendiang Paus Fransiskus, diskusi virtual bulanan oleh Sekber Koalisi Advokasi KBB mengangkat topik “Mengenang Paus Fransiskus: Pelajaran Bagi Aktor-aktor Agama di Indonesia,” Jumat, 30 Mei 2025, lewat platform Zoom. Paus Fransiskus dikenal luas melalui perjuangannya membela kelompok-kelompok termarjinalkan seperti kaum miskin, imigran, perempuan, hingga kelompok LGBT. Kepeduliannya tidak terbatas pada lingkup gereja, melainkan mencakup seluruh krisis kemanusiaan. Perannya memberikan dampak yang dirasakan tidak hanya oleh umat Kristiani, tetapi juga oleh dunia secara luas.

Makna pesan-pesan Paus Fransiskus, khususnya dalam konteks kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), dibahas bersama Rm. Ignatius Ismartono, SJ (Jesuit Indonesia), Elga Sarapung (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia/Interfidei), dan Ihsan Ali-Fauzi (PUSAD Paramadina). Diskusi dipandu oleh Alifa Ardhyasavitri dan Utami Sandyarani dari Koalisi Advokasi KBB.

Romo Ismartono membuka diskusi dengan memperkenalkan manusia sebagai makhluk berdosa sekaligus berbudi, yang tidak luput dari tujuh dosa pokok maupun tujuh kebajikan, termasuk Paus Fransiskus. Paus mengembangkan nilai-nilai keutamaan sosial melalui pembentukan Dikasteri untuk Promosi Pembangunan Manusia Seutuhnya (Dicastery for Promoting Integral Human Development), yang merupakan gabungan dari empat dewan kepausan sebelumnya. Tujuan utama dikasteri ini adalah mengekspresikan kepedulian Gereja terhadap isu keadilan, perdamaian, migrasi, kesehatan, amal, dan perlindungan lingkungan.

Nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung Paus Fransiskus dituangkan dalam Fratelli Tutti. Romo Ismartono menyampaikan bahwa Paus Fransiskus sangat menekankan martabat manusia yang tidak tergantikan, terlepas dari ras, agama, status sosial, atau orientasi seksual. Paus menyerukan solidaritas global sebagai jalan menuju pemulihan sosial dan moral, terutama dalam menghadapi krisis seperti pandemi, kemiskinan, dan perang. Dalam Fratelli Tutti, Paus juga mengajak masyarakat membangun persaudaraan yang melampaui batas geografis dan budaya. Dalam Laudato Si’, ia menyerukan pentingnya ekologi integral yang mengakui keterkaitan antara lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. Paus juga vokal mengkritisi sistem ekonomi global yang meminggirkan orang miskin dan menguntungkan segelintir orang.

Ia menekankan bahwa belas kasih dan pengampunan adalah inti ajaran Kristiani, bukan penghakiman. Gereja harus menjadi tempat yang partisipatif, terbuka pada dialog, dan rendah hati untuk belajar dari umat. Ia menginginkan Gereja hadir di tengah masyarakat, terutama untuk mereka yang terpinggirkan—bukan menjadi menara gading, tetapi “rumah sakit lapangan”. Budaya damai dan penolakan terhadap kekerasan sebagai solusi konflik terus diusung Paus. Ia juga menegaskan pentingnya penghargaan dan dukungan terhadap peran serta keterlibatan perempuan di Gereja dan masyarakat.

Elga Sarapung sebagai pembicara selanjutnya mengungkapkan bahwa ia sempat membaca riwayat masa kecil Paus Fransiskus dan menemukan sisi-sisi menarik, seperti julukan “setan kecil” karena kenakalannya, kepiawaiannya menari tango, hingga kisah asmara masa remaja. Menurut Elga, sisi manusiawi tersebut merupakan pembelajaran yang menunjukkan proses pertumbuhan dan transformasi pribadi menjadi sosok yang sangat manusiawi. Ia menilai sumbangsih Paus Fransiskus sebagai wujud pelayanan diakonia, atau pelayanan cinta kasih, yang terdiri dari tiga tahap: diakonia karitatif (bantuan langsung seperti saat bencana alam), diakonia reformatif (pemulihan fisik dan sosial), dan diakonia transformatif (perubahan struktural dan pemberdayaan masyarakat.

“Saya mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Paus adalah kita tidak hanya mem-bridging perbedaan-intra atau antar, tadi-tetapi bagaimana perbedaan ini menjadi kekuatan bersama untuk kritis terhadap apa yang terjadi, yang real di masyarakat,” ucap Elga.

Melalui refleksinya, Elga menekankan bahwa agama-agama harus bersama-sama memperjuangkan keadilan, tidak hanya lewat dialog simbolik, melainkan dengan tindakan nyata.

Pembicara ketiga, Ihsan Ali-Fauzi, memulai dengan menguraikan karakteristik agamawan humanis menurutnya: agama hadir untuk seluruh umat manusia, tidak terjebak pada tafsir tunggal yang eksklusif, dan bersedia bekerja sama dengan pihak sekuler demi perubahan. Ia menyatakan bahwa Paus Fransiskus mencerminkan semua karakteristik tersebut: menjadi teladan aktif, berani mengambil risiko, terus belajar dari kesalahan, serta mengedepankan riset damai.

Ihsan merangkum keteladanan Paus Fransiskus dalam tiga poin utama: membangun jembatan, bukan tembok; menerobos batas jika perlu; dan memaknai kebebasan beragama secara luas dan mendalam. Ia mencontohkan inisiatif Paus dalam memulihkan hubungan AS-Kuba setelah 50 tahun, serta keberaniannya menyoroti junta militer Myanmar, genosida di Palestina, hingga kebijakan Trump dan JD Vence. Di Indonesia, Paus mengkritik dialog antaragama yang hanya bersifat seremonial dan elitis, serta memberi perhatian pada konflik lokal seperti di Maluku dan Nusa Tenggara yang kerap luput dari sorotan.

Pada poin kedua, Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang paling radikal dalam mengamalkan semangat Konsili Vatikan II—mencoba segala hal yang tampak mungkin, bahkan jika harus menantang konservatisme maupun liberalisme. Pada poin ketiga, Ihsan mengutip pernyataan Paus tahun 2004 bahwa:

“Kebebasan beragama tidak hanya pemikiran pribadi, namun kebebasan untuk hidup secara privat dan publik, berdasarkan prinsip-prinsip etika yang dihasilkan dari kebenaran yang ditemukan.”

Keseluruhan diskusi menyoroti keteladanan Paus Fransiskus yang patut diapresiasi dan dihayati dalam membangun solidaritas global, mendorong transformasi sosial, serta memperjuangkan kebebasan beragama yang otentik dan menyeluruh. Keteladanannya menjadi inspirasi tidak hanya bagi umat Kristiani, tetapi juga bagi aktor lintas iman untuk menjadikan agama sebagai kekuatan yang berpihak pada keadilan, dialog, dan perubahan nyata di tengah krisis kemanusiaan.