Oleh: Suci Ambarwati
Ringkasan:
● Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional mengabaikan sejarah kekerasan Orde Baru terhadap KBB.
● Orde Baru menindas iman dan identitas melalui pembatasan agama resmi, diskriminasi, dan kekerasan negara.
● Gelar pahlawan tersebut menormalisasi kekerasan dan mengkhianati korban serta kebenaran sejarah.
Pemerintah resmi menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Keputusan ini disambut sebagian pihak sebagai bentuk “penghargaan atas jasa pembangunan dan stabilitas nasional”. Namun, bagi para korban kekerasan, bagi keluarga yang kehilangan, dan bagi mereka yang memperjuangkan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), keputusan ini terasa seperti luka lama yang dibuka kembali.
Bagaimana mungkin negara memberi gelar kepahlawanan pada sosok yang kekuasaannya dibangun dari darah, penjara, dan pembungkaman iman?
Soeharto naik ke tampuk kekuasaan setelah Tragedi 1965–1966, salah satu episode tergelap dalam sejarah Indonesia modern. Dalam proses konsolidasi kekuasaan itu, antara 500.000 hingga 1 juta orang dibunuh tanpa pengadilan, dan ratusan ribu lainnya ditahan bertahun-tahun tanpa proses hukum. Mereka yang dituduh simpatisan komunis, ateis, atau sekadar berpandangan berbeda, menjadi korban pembunuhan massal yang disokong oleh militer dan propaganda negara.
Rezim ini lahir dari ketakutan, bukan dari kemanusiaan. Dari sanalah, represi terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan mulai dilembagakan.
Selama tiga dekade Orde Baru, kebebasan beragama hanya ada di atas kertas. Negara menetapkan hanya enam agama resmi: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Aliran kepercayaan lokal diperlakukan sebagai “penyimpangan”. Jutaan orang kehilangan hak dasar untuk menikah, membuat KTP, bahkan dimakamkan sesuai keyakinan mereka. Melalui UU Penodaan Agama 1965, tafsir agama yang berbeda dibungkam. Negara memonopoli tafsir iman dan menjadikan agama alat legitimasi politik.
KBB dijinakkan menjadi “kerukunan” versi negara, bukan kebebasan warga.
Kekerasan yang Nyata: Tanjung Priok, Diskriminasi Etnis Tionghoa, dan Tragedi Mei 1998
Kekejaman Orde Baru terhadap KBB dan identitas keagamaan tidak hanya berupa kebijakan, tetapi juga melalui kekerasan berdarah.
Tanjung Priok 1984: Aparat militer menembaki warga sipil yang memprotes tindakan aparat yang dianggap melecehkan simbol keagamaan. Pemerintah hanya mengakui 24 korban tewas, tetapi kesaksian menyebut lebih dari 100 orang terbunuh. Tidak ada keadilan hingga kini.Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa: Melalui Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, ekspresi budaya dan keagamaan Tionghoa dilarang di ruang publik. Nama Tionghoa harus diubah, perayaan Imlek dilarang, dan ajaran Konghucu disingkirkan dari lembaga pendidikan.Kerusuhan Mei 1998: Ketika rezim Soeharto runtuh, kebencian yang dibangun puluhan tahun meledak. Ratusan orang tewas, perempuan diperkosa, rumah ibadah dan toko dibakar. Etnis Tionghoa kembali dijadikan kambing hitam oleh sistem yang sebelumnya menindas mereka.Ketiga peristiwa ini menunjukkan wajah kekuasaan yang menindas iman, keyakinan, dan identitas demi mempertahankan kontrol.
Dua puluh enam tahun setelah Soeharto turun, warisan represi terhadap KBB masih terasa. Komunitas penghayat kepercayaan baru mendapat pengakuan hukum pada 2017. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama masih terjadi. Narasi “stabilitas” dan “kerukunan” masih sering digunakan untuk membatasi kebebasan berpikir dan berkeyakinan.
Menetapkan Soeharto sebagai pahlawan berarti memutihkan sejarah dan menormalisasi kekerasan sebagai bagian dari “pembangunan”. Itu bukan penghormatan terhadap jasa, tetapi pengkhianatan terhadap kebenaran.
Pahlawan sejati bukanlah yang membungkam perbedaan atau menaklukkan rakyat dengan ketakutan. Pahlawan sejati adalah mereka yang menjamin kebebasan setiap warga untuk beriman atau tidak beriman tanpa takut dipaksa, diawasi, atau dibungkam.
Menetapkan Soeharto sebagai pahlawan adalah langkah mundur dalam komitmen bangsa terhadap HAM dan kebebasan beragama. Sejarah tak boleh dijadikan alat politik untuk menutupi kekejaman negara.
Ketika negara memberi gelar pahlawan kepada pelaku represi, korban kehilangan suaranya dua kali: pertama saat mereka dibungkam oleh kekuasaan, kedua saat kebenaran mereka dihapus atas nama “jasa pembangunan”.
Kita tidak menolak masa lalu, kita menolak lupa. Kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya bisa hidup di atas keberanian untuk jujur pada sejarah.
Editor: Andrianor









Leave a Reply