Oleh: Rahcmad Sutisna Hamijaya (Penggerak Komunitas GUSDURian Banjarmasin, Kalimantan Selatan) | Republikasi dari GUSDURian
Ringkasan:
● Konten keagamaan provokatif mudah menyebar tanpa verifikasi dan memicu konflik sosial.
● Moderasi beragama menuntut literasi digital, sanad keilmuan, dan dialog lintas iman.
● Pendekatan dialogis lintas iman terbukti efektif menyebarkan nilai moderasi dan toleransi di era digital.
Meningkatnya konten keagamaan yang tidak akurat dan bernada provokatif berpotensi melahirkan kebencian antarumat beragama. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika pengguna media sosial menerima dan menyebarkan informasi tersebut tanpa proses tabayyun atau verifikasi. Baru-baru ini, media sosial dihebohkan dengan narasi feodalisme di dunia pesantren. Bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang sebagai santri, narasi tersebut mungkin saja diamini dan disebarkan tanpa mempertimbangkan dampaknya. Hal semacam ini sering kali berawal dari kedangkalan pengetahuan.
Jika menilik ke belakang, Kalimantan Barat pernah mengalami kasus persekusi (yang sejatinya adalah pelanggaran HAM) dengan pola yang serupa seperti uraian di atas, tepatnya pada tahun 2021. Saat itu terjadi pengrusakan rumah ibadah penganut Ahmadiyah di Sintang dan pembakaran rumah bekas anggota organisasi Gafatar di Mempawah. Kalimantan Barat juga memiliki jejak konflik antaretnis, seperti peristiwa Sambas tahun 1999 dan Mangkok Merah 1967. Selain meninggalkan warisan trauma kolektif, aksi destruktif terhadap kelompok minoritas tersebut menjadi sebuah tanda bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya moderasi masih sangat rendah.
Dalam khazanah keislaman kontemporer, terdapat sejumlah tokoh yang mendefinisikan moderasi beragama. Salah satunya adalah Yusuf al-Qardhawi. Beliau memaknai moderasi beragama (washatiyyah) sebagai upaya menerapkan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang seimbang. Sebagai cendekiawan yang mengenalkan konsep washatiyyah, Al-Qardhawi berupaya melepaskan umat dari belenggu sikap berlebihan, kekufuran, dan pengingkaran terhadap Rasulullah SAW melalui karya-karyanya. Dengan konsep itu pula, ia berupaya mengajak para mahasiswa dan masyarakat untuk menghindari amal dan ibadah tanpa ilmu, sehingga mereka selamat dari ekstremisme, baik yang bersifat liberal maupun radikal, di masa kini dan mendatang.
Memasuki era digital, moderasi beragama menghadapi tantangan baru. Ruang-ruang digital memudahkan siapa pun untuk berkomunikasi tanpa sekat, yang berujung pada penyebaran informasi secara luas dan cepat. Namun, ruang digital berbeda dengan ruang akademik yang memiliki filter berupa pengujian sumber otoritatif dari para akademisi. Itulah mengapa penyebaran narasi keagamaan yang ekstrem masih begitu masif. Dalam tradisi keilmuan Islam, sanad keilmuan menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, memiliki guru adalah keharusan, bukan sekadar belajar secara otodidak dengan membaca buku atau melalui media sosial tanpa bimbingan yang jelas.
Ilmu yang didapat dari sosok guru yang jelas sanadnya akan menghasilkan ilmu yang menentramkan hati dan menjernihkan akal pikiran, bukan ilmu yang menghasilkan perilaku saling menyalahkan. Melalui sanad pula, seseorang belajar bersikap selektif terhadap informasi keagamaan serta menghormati perbedaan tafsir dan mazhab. Sikap inilah yang menjadi modal utama untuk meminimalisasi dampak negatif era digital.
Moderasi beragama dalam masyarakat tidak hanya berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial, tetapi lebih dari itu. Merujuk pada konsep washatiyyah yang dikemukakan oleh Yusuf Al-Qardhawi, moderasi beragama seharusnya mendorong sikap inklusif serta mengokohkan pemahaman keagamaan yang seimbang. Dari pemahaman yang kokoh inilah, sikap toleransi akan lahir secara alami. Hal ini menjadi penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang multikultural dan heterogen.
Namun, dalam konteks era digital, upaya moderasi beragama perlu dilakukan dengan pendekatan yang lebih fleksibel, adaptif terhadap dinamika, dan berorientasi pada penguatan literasi digital keagamaan. Tanpa memanfaatkan kemajuan era digital, pesan-pesan moderasi akan dikalahkan oleh narasi keagamaan yang ekstrem dan provokatif. Oleh karena itu, kita perlu memanfaatkan peluang dengan bijaksana, misalnya menggunakan berbagai platform digital untuk menyampaikan pesan universal dari setiap agama, yakni nilai-nilai kemanusiaan seperti cinta kasih dan kedamaian.
Salah satu contoh nyata dari upaya ini dapat dilihat melalui program “Login” di kanal YouTube Deddy Corbuzier. Program tersebut menampilkan dialog Habib Ja’far dengan tokoh agama Buddha, Kristen, Hindu, Konghucu, dan Islam. Hasil analisis dari sebuah jurnal menunjukkan bahwa Habib Ja’far melalui program tersebut berhasil menyampaikan pesan toleransi dengan menonjolkan nilai-nilai saling menghormati, pengertian, dan penerimaan keberagaman. Selain menggunakan bahasa yang mudah dipahami generasi muda, menariknya, nilai-nilai tersebut juga disampaikan Habib Ja’far dengan gaya humor yang dapat mencairkan suasana.
Habib Ja’far tidak hanya menciptakan dialog antaragama yang inklusif, tetapi juga mendorong penonton untuk mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menegaskan pentingnya media sosial sebagai platform dakwah untuk membangun pemahaman moderasi beragama di tengah masyarakat yang plural. Pendekatan seperti ini membuktikan bahwa dakwah tidak selalu harus dilakukan di atas mimbar.
Berdasarkan pengalaman penulis dalam mengamati kesadaran moderasi beragama di kalangan masyarakat, pendekatan dialogis seperti yang dilakukan Habib Ja’far tampak lebih efektif dibandingkan pendekatan normatif-dogmatis. Pendekatan yang terakhir ini cenderung berhenti pada tataran konsep dan kurang memahami konteks sosial, sehingga menjauhkan masyarakat dari esensi dakwah yang sejuk dan penuh hikmah, terlebih ketika disampaikan dengan nada seksisme atau rasisme.
Teman-teman penulis yang terlibat dalam komunitas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada isu keberagaman, misalnya, lebih memilih pendekatan pertama, yakni pendekatan dialogis lintas iman dan budaya. Melalui ruang dialog semacam itu, nilai-nilai moderasi tidak hanya disampaikan sebagai konsep, tetapi dihidupkan dalam praktik kebersamaan dan kemanusiaan sehari-hari.
Gagasan Paulo Freire dalam Pendidikan Kaum Tertindas pun sejalan dengan hal ini. Freire menolak pola pendidikan “gaya bank” yang menempatkan pendidik sebagai pihak yang serba tahu dan peserta didik sebagai penerima pasif. Dalam moderasi beragama dan pendidikan keagamaan, pola seperti ini sering kali menjauhkan masyarakat dari semangat kritis dan empati sosial. Sebaliknya, pendekatan dialogis memungkinkan setiap individu untuk tumbuh sebagai subjek yang merdeka, saling belajar tanpa melihat identitas, serta berproses menuju kesadaran yang humanis dan reflektif.
Sebagai bagian dari gerakan GUSDURian, penulis pun pernah terlibat dalam berbagai kegiatan lintas iman. Mulai dari melakukan dialog di vihara dan gereja, hingga mengikuti kegiatan tahunan Syi’ah dan Ahmadiyah. Pengalaman-pengalaman tersebut menunjukkan bahwa perjumpaan langsung dengan kelompok yang berbeda keyakinan bukan hanya memperluas wawasan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa toleransi sejati lahir dari pengalaman saling mendengar dan memahami, bukan melalui lembaran-lembaran buku semata.
Mengutip perkataan Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Moderasi beragama di era digital sejatinya dimulai jauh sebelum tangan menyentuh tombol share. Misalnya, bagi mereka yang non-Muslim, mungkin Al-Qur’an tidak dapat mereka baca, tetapi mereka membaca perilaku kita sebagai umat Islam.
Kini, ketika ruang digital menjadi medium baru penyebaran nilai, moderasi beragama bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah kebutuhan. Era digital perlu dihidupi dengan kesadaran bahwa setiap interaksi mencerminkan wajah keagamaan kita. Sebab pada akhirnya, moderasi bukanlah bentuk pelemahan keyakinan, melainkan cara hidup berdampingan dengan menegakkan kemanusiaan.
Editor: Andrianor











Leave a Reply