Ringkasan:
● Islam secara teologis menjamin kebebasan beragama dan melarang paksaan dalam berkeyakinan.
● Tafsir kontekstual Al-Qur’an menegaskan pluralisme kewargaan dan kesetaraan hak politik lintas agama.
● Hadis hukuman mati bagi murtad bersifat situasional, bukan larangan absolut atas kebebasan keyakinan.
Oleh: Sukron Kamil – Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta | Republikasi dari Harakatuna.com
Di antara problem Indonesia kontemporer adalah persoalan kebebasan beragama. Dalam sebuah riset sekitar November 2010, warga Jakarta dan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Botabek) dilaporkan cenderung bersikap intoleran. Sebanyak 49,5 persen masyarakatnya tidak menyetujui keberadaan rumah ibadah bagi penganut agama lain. Hal ini belum ditambah dengan konflik antaragama pasca runtuhnya Orde Baru pada 1998. Sebut saja konflik antara Muslim dan Kristen di Mataram (Nusa Tenggara Barat) serta konflik berkepanjangan di Ambon (Maluku) dan Ternate (Maluku Utara) yang menelan lebih dari 2.413 korban jiwa dan mengakibatkan 197.000 orang mengungsi.
Dalam konteks global, pada 2004 Sam Harris menulis buku The End of Faith. Pandangan tokoh ateis ini dipicu oleh realitas bahwa agama acap kali tampil sebagai sumber kebencian, bahkan melahirkan ketakutan. Karena itu, untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember 2025, isu Islam dan kebebasan beragama menjadi sangat krusial untuk dibahas kembali.
Civic Pluralism (Pluralisme Kewargaan)
Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt. melarang Nabi-Nya memaksa manusia untuk beriman, karena tugas para nabi hanyalah menyampaikan risalah dan berdakwah (QS. Yunus/10:99–100 dan QS. al-Ahzab/33:45–48). Dengan demikian, kebebasan beragama dalam Islam merupakan hal yang esensial dan dijamin, sebagaimana terlihat dalam QS. al-Kahfi/18:29, QS. al-Baqarah/2:256, QS. al-Kafirun/109:1–6 yang terkenal, serta QS. Yunus/10:99. Oleh karena itu, kebebasan beribadah bagi non-Muslim, dalam fikih mana pun, juga dijamin, baik di wilayah domestik maupun ruang publik.
Bahkan, secara historis, sisi inilah yang membedakan penaklukan atau pembebasan Islam dari kekuasaan sebelumnya. Sebagian komunitas Kristiani yang sebelumnya tidak diberikan kebebasan beragama oleh penguasa seagamanya justru memperoleh kebebasan dan keadilan di bawah kekuasaan Islam. Karena itu, dibutuhkan waktu minimal dua abad dakwah sejak penaklukan Islam pada abad ke-7 hingga wilayah Persia menjadi mayoritas Muslim pada abad ke-9 atau ke-10. Baik Dinasti Umayyah maupun Abbasiyah turut membangun gereja dan membiarkan sinagoge, tempat ibadah kaum Yahudi, tetap berdiri.
Yang lebih meyakinkan lagi, kebebasan beragama dapat dilihat dari konsep pluralisme kewargaan (civic pluralism). Harus diakui, dalam Islam terdapat ayat-ayat seperti QS. al-Ma’idah/5:51, QS. al-Baqarah/2:120, dan QS. Ali Imran/3:118 yang oleh sebagian kalangan Muslim dipahami sebagai larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin publik. Namun, tafsir tersebut bukanlah tafsir yang baku dalam Islam. Sebagaimana dikemukakan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, larangan dalam tiga ayat Al-Qur’an tersebut bersifat kondisional, yakni selama non-Muslim yang hendak dijadikan pemimpin publik (bukan kepala negara) memerangi dan mengusir kaum Muslimin, sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Mumtahanah/60:8.
Ketiga ayat itu harus ditafsirkan dengan QS. al-Mumtahanah/60:8 sebagai satu kesatuan teks yang koheren, melalui metode tafsîr al-âyât bi al-âyât (menafsirkan ayat dengan ayat lainnya), sebagaimana juga dianjurkan dalam teori pengkajian teks strukturalisme modern. Dengan mengutip Ibn Jarir, menurut Abduh dan Ridha, ayat semisal QS. Ali Imran/3:118 turun dalam konteks pengkhianatan sebagian kaum Yahudi yang berkomplot dengan musuh-musuh kaum Muslimin dalam melakukan agresi.
Selain itu, menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur), QS. Ali Imran [3]:118 menggunakan kata “auliyâ” yang berarti teman setia atau pelindung, bukan “umarâ” yang berarti penguasa atau pemerintah. Pemaknaan ini kini digunakan dalam Al-Qur’an terjemahan Kementerian Agama edisi 2011, yang merevisi terjemahan sebelumnya.
Lebih jauh, sebagaimana terlihat dalam Piagam Madinah—yang merupakan hadis perbuatan Nabi dan berfungsi sebagai konstitusi atau perjanjian antara Nabi Muhammad dan komunitas non-Muslim, sebagaimana dikisahkan hampir di semua buku sîrah (biografi)—Nabi mendirikan negara Madinah sebagai negara multi-etnis dan multiagama. Dalam piagam tersebut, non-Muslim memiliki hak-hak politik, seperti kewajiban bersama mempertahankan kota dari serangan musuh luar (pasal 37), serta kebebasan beragama di ruang privat maupun publik.
Demikian pula dalam sejarah setelahnya. Pada periode Abbasiyah (750–1258 M), banyak non-Muslim diangkat menjadi pejabat publik. Keluarga Barmak, misalnya, dalam waktu yang lama dan berulang kali menjabat sebagai perdana menteri (wazîr). Kaum Kristiani banyak menduduki jabatan di bidang keilmuan, sementara kaum Yahudi berperan penting di sektor ekonomi. Bahkan, penaklukan Spanyol yang terkenal terjadi melalui kerja sama kaum Muslimin dengan sebagian kaum Kristiani dan Yahudi. Islam di Spanyol pun menjadi rumah bersama bagi tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi.
Dengan demikian, ayat-ayat di atas, andaikata dimaknai sebagai larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin publik, pun hanya terbatas pada posisi kepala negara saja. Pembatasan ini dibenarkan dalam hukum tata negara Islam klasik, seperti dalam buku al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya al-Mawardi, dan tidak menjadi persoalan dalam demokrasi kontemporer.
Hadis Hukuman Mati
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan hadis Nabi riwayat al-Bukhari:“Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah (kenakanlah hukuman mati)”? Untuk mengatasi kebuntuan ini, berdasarkan metodologi kritik matan, hadis tersebut harus dikaji secara kritis dengan membandingkan dan menafsirkannya melalui Al-Qur’an dan hadis-hadis lain.
Dalam syariat tradisional, terdapat pandangan Imam Abu Hanifah yang menyamakan orang murtad dengan non-Muslim lainnya yang tidak harus dihukum mati, meskipun pendapat ini hanya berlaku bagi pelaku murtad perempuan. Bahkan, terdapat pandangan yang lebih progresif dari Ibrahim an-Nakha‘i (w. 95 H) dan Sufyan ats-Tsauri (w. 162 H). Menurut mereka, semua orang murtad justru harus dibujuk untuk kembali kepada Islam, bukan dihukum mati.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Baji (w. 494 H), seorang ahli fikih mazhab Maliki, dan Ibn Taimiyah dari mazhab Hanbali, yang dikenal memiliki keterikatan pada hadis lebih ketat dibanding tiga mazhab fikih lainnya. Mereka berpendapat bahwa kemurtadan merupakan dosa yang hukumannya tidak ditetapkan secara langsung oleh wahyu, melainkan diserahkan kepada ijtihad ulama atau hakim.
Jika hadis tersebut dibandingkan dan ditafsirkan dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang lebih tinggi, maka teks (matan) hadis itu tampak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengakui kebebasan beragama sebagaimana telah disebutkan. Salah satunya QS. al-Kahfi/18:29, yang secara harfiah menyatakan: “Barang siapa yang mau beriman berimanlah, dan barangsiapa yang mau kufur (ingkar atau bahkan ateis), kufurlah.”
Berdasarkan teks harfiah ayat ini, yang dijamin dalam Islam bukan hanya kebebasan beragama, tetapi juga kebebasan untuk menjadi ateis sekalipun, selama tidak mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan kekacauan (chaos). Dengan demikian, hadis di atas hanya berlaku dalam konteks ketika kemurtadan menjadi ancaman serius bagi ketertiban umum, sehingga pelakunya diperangi atau dihukum mati. Hal inilah yang terjadi pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama.
Selain itu, dalam Islam, kebebasan dan kemerdekaan memilih—termasuk kebebasan beragama—merupakan anugerah Allah kepada Nabi Adam sebagai nenek moyang manusia. Keberadaan surga dan neraka (sistem meritokrasi Islam) menunjukkan adanya kebebasan memilih. Oleh karena itu, hadis tersebut juga bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa pelaku kemurtadan karena paksaan akan diampuni Allah (QS. an-Nahl/16:106), sebagaimana pernah dialami oleh masyarakat Muslim di sebagian besar wilayah Spanyol menjelang akhir kekuasaan Islam di sana.
QS. an-Nahl/16:106 ini bahkan diperkuat oleh hadis sahih yang terkenal bahwa perbuatan yang dilakukan karena paksaan tidak memiliki konsekuensi hukum, sebagaimana perbuatan karena lupa atau tidak disengaja. Lebih jauh, hadis tersebut juga bertentangan dengan QS. an-Nisa/4:137, di samping QS. al-Kahfi/18:29 dan QS. an-Nahl/16:106. QS. an-Nisa/4:137 menjelaskan adanya seseorang yang murtad berulang kali setelah kembali memeluk Islam. Ayat ini tidak menyebut adanya hukuman mati di dunia, melainkan ancaman siksa neraka di akhirat.
Di samping itu, terdapat beberapa pertimbangan penting. Pertama, berdasarkan hadis fi’lî (perbuatan Nabi), Nabi tidak pernah menghukum mati seseorang semata-mata karena berpindah agama. Kedua, pemberlakuan hadis tersebut secara harfiah berpotensi mencoreng citra Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam dan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (QS. al-An‘am/6:12, 54; QS. al-A‘raf/7:156; dan QS. al-Fatihah/1:2), terlebih ketika kebebasan beragama kini diakui oleh hukum internasional dan nasional. Ketiga, terdapat ulama yang berpendapat bahwa bunyi hadis tersebut bukan faqtulûh (maka bunuhlah), melainkan faqbalûh (maka terimalah kembali untuk didakwahi), mengingat pada masa awal penulisan hadis belum dikenal penggunaan titik di atas dan di bawah huruf Arab.
Editor: Andrianor










Leave a Reply