Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Kewajiban dan Larangan Menggunakan Pakaian dan Atribut Keagamaan di Sekolah Umum

Masalah KBB sesuai pasal 18 ICCPR

Busana muslim seperti jilbab bisa dilihat sebagai ekspresi pilihan individual terhadap keyakinannya,namun tidak dapat disangkal ada yang melihat jilbab sebagai bentuk opresi terutama pada perempuan. Dalam konteks ini, Asma Jahangir, mantan Special Rapproteur KBB di PBB  menegaskan bahwa baik kebebasan positif dari kebebasan beragama/berkeyakinan yang dimanifestasikan dengan memakai atau menunjukan symbol religius secara sukarela dan juga kebebasan negative dari paksaan untuk memakai atau menunjukan symbol-simbol religius sama-sama sangat penting.

Dalam general comment 22, dijelaskan bahwa KBB memberikan kebebasan individu untuk mengekspresikan agama/keyakinannya termasuk menggunakan pakaian seperti penutup kepala. Bahkan dijelaskan bahwa sekolah public boleh memberikan Pendidikan seperti sejarah agama-agama atau etika selama itu diberikan secara netral dan obyektif. Orang tua atau wali anak juga diberikan kebebasan untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keyakinannya. Pendidikan agama tertentu di sekolah justru akan bertentangan dengan pasal 18 (4) kecuali disediakan pengecualian tanpa diskriminatif untuk mengakomodir harapan orang tua dan wali.

Dalam prinsip pembatasan yang ditekankan pada pasa 18 (3), pembatasan hanya bisa dilakukan dengan legislasi atau aturan yang diputuskan melalui DPR/DPRD, diperlukan untuk melindungi moral public, ketertiban umum, keselamatan public, kesehatan public atau melindungi kebebasan dasar orang lain. Namun yang penting juga diingat bahwa pembatasan harus dilihat sebagai cara terakhir dan dalam arti sempit untuk mencegah terjadinya ketidaksetaraan dan diskriminasi.

Ada banyak aturan daerah yang mengatur busana muslim bagi siswa di sekolah, dan bentuknya ada yang perda maupun SK bupati/walikota. Melihat pembatasan yang ada, peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD merupakan bentuk yang paling sah untuk mengatur dan membatasi hak  KBB tiap individu, namun ini juga harus didasarkan pada UU di atasnya dan juga konstitusi. Sesuai UU Pembentukan Peraturan Perundangan, perda maupun aturan di daerah tidak boleh melanggar UU di atasnya dan terutama konstitusi. UU yang banyak dirujuk dari perda/aturan busana muslim di sekolah ini adalah UU Sisdiknas yang memiliki tujuan untuk membentuk siswa berakhlak dan bertakwa pada Tuhan YME, dan pembentukan perda/aturan ini sebagai bentuk untuk memfasilitasi  tujuan Pendidikan bisa terpenuhi. Jika UU Sisdiknas 1989 tidak ada penjabaran bentuk perwujudan Pendidikan keagamaan macam apa, UU Sisdiknas tahun 2003 memberikan lebih detil terkait Pendidikan keagaaman yang diatur adalah Pendidikan untuk menyiapkan peserta didik untuk mengamalkan agamanya atau menjadi orang ahli agama, dan bentuknya seperti pesantren, madrasah, dll. Tidak cukup jelas apakah Pendidikan keagamaan di sekolah umum juga memiliki tujuan yang sama. Namun berkali-kali ditekankan bahwa tujuan Pendidikan untuk memastikan peserta didik berakhlak dan bertakwa, sehingga Pendidikan perlu memasukan nilai-nilai agama (melalui Pendidikan keagamaan) dan moral (melalui Pendidikan Pancasila). Tujuan Pendidikan inilah yang menjustifikasi pemerintah daerah melakukan pengkhususan agar warganya bisa mengamalkan agamanya dengan menutup aurat, dan membiasakan berpakaian Muslimah/muslim.

Namun apakah peraturan ini diperlukan untuk melindungi moral public, ketertiban umum, keselamatan public, kesehatan public atau melindungi kebebasan dasar orang lain? Tidak ada dalam aturan yang ada menjelaskan tentang hal ini. Dari bebagai alasan yang muncul diluar yang termaktub di aturan yang ada, alasan moral menjadi alasan yang paling sering muncul mengingat agama selalu dihubungkan dengan moralitas. Namun yang perlu diingat adalah moralitas public dalam prinsip Siracusa dan general comment 22 menekankan bahwa moralitas public itu berasal dari berbagai agama/keyakinan dan bukan dari satu ajaran agama/keyakinan saja. Perda/aturan yang memaksa siswa untuk berpakaian muslim atau keyakinan tertentu jelas tidak mendasarkan pada berbagai ajaran agama/keyakinan, melainkan hanya dari satu ajaran/keyakinan.

Prinsip perlu juga membawa konsekwensi pada pentingya melihat proprosionalitas yang artinya melihat tujuan dengan alat yang digunakan. Beberapa perda terkait aturan pakaian Muslim/Muslimah ini menegaskan tujuan untuk membentuk sikap dan prilaku seorang Muslim dan Muslimah yang baik dan berakhlak mulia; membiasan diri berpakaian Muslim dan Muslimah dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan berkeluargan, sehari-hari maupun di masyarkat umum; menciptakan masyarakat yang mencintai budaya islam dan budaya Minang (ini terutama di Perda Sumbar), dan melestarikan fungsi adat sesuai pituah “syara manguto adat memakai” (Minang). Namun tujuan ini sudah bermasalah karena posisi negara yang justru turut campur dalam memenuhi keagamaan warga dimana seharusnya negara pasif. Dari Analisa prinsip perlu (necessary) juga menunjukkan bahwa argument yang ada tidak kuat. Sehingga prinsip proporsionalitas menjadi tidak relevan digunakan.

Perda pewajiban jilbab menjadi bermasalah juga karena tidak memberikan alternatif pengecualian bagi yang non muslim, dan muslim untuk menolak atau bekeberatan. Putusan MA yang mencabut SKB secara substansi sudah mengatakan bahwa paksaan tidak diperbolehkan, namun secara asumtif menyatakan bahwa anak tidak punya hak pilih kecuali sesuai dengan orang tua. Putusan juga mengharapkan sekolah dan Negara hadir untuk memastikan anak bertakwa pada Tuhan. Dalam hal ini, pemaksaan sekalipun tidak dianjurkan tapi dianggap sebagai bagian dari otonomi sekolah untuk mendidik anak bertakwa. Dalam beberapa perda, pertimbangan yang diberikan adalah untuk menciptakan masyarakat yang mencintai budaya Islam, membiasakan diri berpakaian muslim dalam kehidupan sehari-hari dan mewujudkan pelaksanaan ajaran agama. Beberapa perda juga tidak membedakan warga Muslim dan Non Muslim, artinya perda ini diberlakukan untuk semua warga di wilayah tersebut. Di wilayah Sumbar yang menyatakan bahwa Islam adalah budaya Minang menekankan pentingnya pengenalan budaya Minang sebagai tujuan.

Tujuan ini bermasalah karena negara sebagai duty holder mestinya tidak berkewajiban untuk melaksanakan ajaran agama, karena agama/keyakinan sifatnya personal dan individual seperti yang termaktub pada pasal 18 ayat 1 terkait forum internum KBB. Bahkan pasal 18 (2) menegaskan tidak boleh ada paksaan bagi tiap orang dalam memeluk agama/keyainannya. Hal ini juga makin ditegaskan dalam deklarasi Faith for Rights di Beirut sebagai komitmen dari bebagai agama/keyakinan.

Selain itu, tujuan ini menyiratkan penggunaan busana muslim sebagai bagian dari syiar agama atau pengenalan agama Islam kepada warga di wilayah tersebut mengingat perda ini tidak hanya berlaku pada Muslim. Tujuan ini juga menyiratkan pentingnya budaya sebagai identitas politik di Sumbar sehinga perlu ditegaskan dalam bentuk perda.

Dari kasus ini juga penting untuk membedakan antara syiar dan indoktrinasi. Kedua hal ini berbeda karena syiar masih diperbolehkan dalam KBB namun indoktrinasi ajaran agama tidak menjadi bagian dari KBB dan cenderung tidak bisa dibenarkan dalam semua hal, apalagi jika dihubungkan dengan Pendidikan. Indoktrinasi berbeda dari pendidikan karena berusaha untuk mempengaruhi seseorang dengan paksaan dan tanpa didukung data kecuali opini, dan tidak membuka ruang debat dan bertanya. Pendidikan justru mendorong orang untuk kemudian berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Indoktrinasi dalam pembentukan identitas politik sering dilakukan dalam bentuk propaganda untuk mempengaruhi ornag lain/bangsa tentang sebuah ideologi atau pun keyakinan. Secara global, pelajaran genosida dari Nazi menunjukan indoktrinasi melaui propaganda ideologi fasis berhasil dilakukan oleh Nazi yang mendorong genosida terhadap Yahudi. Keberhasilan ini juga menguatkan bahwa ketika negara turut campur tangan atau bahkan melakukan indoktrinasi ini, maka kekerasan yang terjadi jauh lebih masif dan terstruktur.

Syiar secara natural menjadi manifestasi kebebasan beragama/ berkeyakinan dimana orang beragama/berkeyakinan mempengaruhi orang lain yang sudah beragama atau tidak untuk mengenal agama/keyakinan tertentu dan mengajak masuk ke agama/keyakinan tertentu tanpa paksaan dan tentunya membuka ruang debat.  Syiar dalam konteks kasus ini ini juga bisa dilihat syiar pada mereka yang seagama maupun yang tidak seagama mengingat ada banyak denominasi dalam agama/keyakinan. Hal ini terwujud dalam beberapa surat edaran yang memiliki aturan bentuk pakaian yang diperbolehkan dan antara daerah bisa berbeda. Dalam riset HRW juga ada siswi yang sebenarnya tidak berkeberatan dngan jilbab namun ketika diminta untuk menggunakan jilbab besar hingga pantat, dia mulai merasa bahwa ini sudah tidak sesuai dengan kehendaknya, dan dilawanlah dengan membuat lomba jilbab cantik. Namun acara ini pun kemudian mendapat teguran dari sekolahnya. Aturan daerah yang hingga mengatur bentuk pakaian yang diperbolehkan makin tidak bisa dijustifikasi pembatasannya.

Perda ini juga menjadi sangat diskriminatif karena tidak memberikan kedudukan yang setara bagi Non Muslim dan bahkan memaksa mereka untuk mengikuti ajaran yang tidak diyakininya. Namun sekalipun ada opsi pengecualian, situasi sosiologis dan budaya setempat perlu diperhatikan mengingat ketika SKB keluar, tidak serta merta non muslim atau muslim yang tidak setuju jilbab membuka jilbabnya karena tekanan social tetap terjadi, atau bahkan aturan sekolah tidak benar-benar nyata dicabut. Hal ini kemudian perlu dilihat dari hak atas Pendidikan dan tujuan Pendidikan itu sendiri. Disamping itu, mengingat kasus ini dibawa oleh Lembaga adat Minang, maka hal ini kemudian berhubungan dengan hak masyarakat adat dimana seperti Sumbar mengklaim bahwa Islam adalah bagian dari adat Minang sehingga mengaburkan batas agama dan adat, dan ini membuat semua warga non Muslim menjadi terpinggirkan karena tidak beragama Muslim, termasuk orang Minang yang beragama non Muslim.

3371035607110001

KBB vs Hak atas Pendidikan

Kewajiban negara untuk memastikan warganya bisa mendapatkan Pendidikan tanpa harus mengalami masalah keyakinan dan hati Nurani sangat penting. Dan perda-perda ini justru membuat hambatan pada Pendidikan.

Disini kita melihat bagaimana kasus jilbab di sekolah ini berhubungan dengan hak atas pendidikan. Putusan MA menegaskan bahwa pewajiban atribut keagamaan mesti dilihat sebagai upaya tanggung jawab sekolah untuk membina anak yang dimandatkan orang tua kepadanya, dan pemenuhan tujuan Pendidikan agar siswa berakhlak dan bertakwa sesuai UU. Hal ini bertentangan dengan Kovenan Ekosob pasal 13 tentang hak atas Pendidikan dimana tujuan Pendidikan adalah untuk mendorong pengembangan individu secara penuh termasuk untuk mengangkat martabatnya sebagai manusia, dan akan memperkuat penghormatan pada hak asasi manusia dan kebebasan dasar, sehingga tiap individu bisa berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam masyarakat yang merdeka, mendorong toleransi dan perkawanan antar bangsa, ras, etnis, agama/keyakinan dan mempertahankan perdamaian. Pendidikan disini jadi penting untuk mempertahankan keragaman dan demokrasi.

Namun dengan adanya perda-perda yang memaksa siswa maupun warga umum mengikuti ajaran tertentu dengan sanksi berjenjang hingga dikeluarkan dari sekolah, dan tidak ada pilihan cukup jelas kecuali lewat peradilan jika tidak setuju, hal ini bisa dikategorikan indoktrinasi dalam pendidikan dan koersi. Dampak yang ditimbulkan jelas tidak memberikan ruang berpikir kritis sesuai tujuan pendidikan.

Dalam hak atas pendidikan juga ditekankan 4 unsur yang harus dipertimbangkan yaitu 1) aksesibilitas bahwa pendidkan harus bisa diakses oleh semua warga tanpa diskriminasi: 2) ketersediaan bahwa pendidikan harus tersedia bagi semua warga dengan jumlah yang cukup di satu wilayah tanpa hambatan; 3) bisa diterima dimana isi dan kurikulum pendidikan mesti bisa diterima oleh siswa dan juga orang tua; 4) dapat diadaptasi dimana pendidikan bisa cukup fleksible untuk menyesuaikan dengan perubahan masyarakat dan kebutuhan siswa dalam masyarkat yang beragam. Adanya paksaan oleh negara melalui perda menjadikan ke empat unsur ini tidak terpenuhi bahkan membuat non muslim terutama dan mereka yang tidak bisa menerima situasi ini harus memilih tidak masuk ke sekolah umum/negeri atau harus mengikuti dengan terpaksa. Pada akhirnya pendidikan justru tidak lagi untukmenghargai keragaman tapi untuk memecah belah orang berdasarkan agama/keyakinan.

Dalam general comments 13, hak atas Pendidikan menekankan 3 tipe kewajiban: kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi yang termasuk juga kewajiban untuk memfasilitasi dan menyediakan. Kewajiban untuk menghormati meminta negara untuk mencegah berbagai tindakan yang bisa menghambat atua mencegah seseorang menikmati ha katas Pendidikan. Kewajiban untuk melindungi meminta negara untuk mengambil tindakan untuk mencegah pihak ketiga merusak/mengganggu penikmatan hak Pendidikan. Kewajiban untuk memenuhi (memfasilitasi) meminta negara untuk mengambil tindakan positif yang memampukan dan membantu individu dan komunitas untukmenikmati hak atas Pendidikan. Kewaiban negara untuk memenuhi (menyediakan) Pendidikan ketika ada individu atau kelompok yang karena alasan diluar control mereka, tidak bisa mendapatkan haknya secara mandiri dengan alat/kemampuan dia. Dari keseluruhan kewajiban ini, perda-perda yang memaksa siswa untuk berbusana sesuai ajaran tertentu telah melanggar keseluruh kewajiban negara yang termaktub dalam Kovenan Ekosob dan tentunya juga melanggar UUD 1945. Pelanggaran ini secara sengaja dilakukan karena dibangun dalam bentuk aturan mengikat warga.

Aturan ini juga tidak bisa disebut sebagai kewajiban negara untuk memenuhi dengna memfasilitasi individu/komunitas menikmati ha katas Pendidikan karena pada dasarnya para siswa ini tidak memiliki masalah dalam mengakses Pendidikan dan justru dengan aturan ini, mereka jadi mendapatkan masalah mendapatkan Pendidikan yang sesuai dengan hati nuraninya.

Masalah KBB vs Hak Anak

Pasal 18 (4) dan ini juga dijelaskan dalam general comment 13 dan 14  menekankan orang tua dan wali memiliki hak untuk memastikan anaknya mendapatkan Pendidikan yang sesuai dengan agama/keyakinan anak. Namun konvensi hak anak juga menekannya pentingnya prinsip “best interest of the child” (kepentingan terbaik anak) yang  terdiri dari 3 dimensi yaitu 1) hak substantif anak yang mensyaratkan bahwa sebelum sebuah kebijakan yang berpengaruh pada anak, penilaian kebutuhan dan kepentingan anak harus jadi pertimbangan utama dan pertama disbanding pertimbangan lainnya. 2) prinsip legal: jika ada peraturan yang bisa diinterpretasikan bermacam-macam, maka pertimbangan utama harus mengambil sudut pandang apa yang paling penting bagi anak-anak; 3) aturan terkait prosedur: untuk memastikan kepentingan anak yang terbaik yang dijadikan dasar, maka Evaluasi terhadap potensi dampak dari aturan pada anak-anak harus dilakukan termasuk mengukur seberapa besar kepentingan anak dipertimbangkan dibandingkan kepentinga-kepentingan lain.  Oleh karena itu prinsip turunan dari “best interest of the child” memaksa negara untuk memastikan suara anak didengar untuk menentukan kebutuhan dan kepentingannya dalam setiap pembuatan kebijakan yang akan berpengaruh pada kehidupan mereka.

Prinsip best interest of child juga menegasikan bahwa orang tua atau wali punya kuasa penuh atas anak. Justru dalam hal ini, orang tua atau wali berperan untuk memastikan prinsip ini bisa terlaksana dan tidak terabaikan. Sayangnya jika melihat perda maupun putusan MA, tidak ada satupun yang memberikan alasan maupun bukti yang menunjukan kepentingan dan kebutuhan siswa/anak dan dampak dari aturan tersebut pada mereka. Putusan MA bahkan menegaskan bahwa usia anak dibawah 18 tahun masih menjadi tanggung jawab orang tua dan meyiratkan orang tua yang punya hak untuk menentukan. Alansa normative yang termaktub dalam perda jelas hanya menunjukan alsan pembiasaan siswa untuk berbusana muslim dan menciptakan masyarakat yang berakhlak, ini jelas bukan kebutuhan siswa, melainkan kebutuhan negara. Berbagai alasan yang diangkat seperti melindungi anak dari kekerasan seksual, hingga alasan melindungi dari nyamuk diutarakan oleh pembuat kebijakna, namun tidak disertai data yang bisa menunjukkan bahwa inilah kebutuhan siswa.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh HRW, jelas terlihat bahwa ada banyak siswa yang terpaksa berjilbab karena paksaan sekolah dan harus melakukan kompromi jika tidak mau dibully. Sementara mereka yang berani tidak berjilbab mengalami perudungan dari guru, sekolah dan teman sebaya, bahkan keluarga. Riset ini menunjukan perda-perda dan aturan pewajiban busana muslim tidak mendasarkan pada kebutuhan dan kepentingan anak yang terdampak dari aturan tersebut.

Peran dan hak orang tua juga menjadi pertanyaan ketika orang tua atau wali menjadi pihak yang melakukan perudungan dan memaksa. Sekalipun orang tua punya hak untukmengarahkan anak agar bisa hidup sesuai keyakinannya, proses ini penting untuk dimaknai sebagai proses pembujukan bukan pemaksaan dimana anak diperkenalkan dan diberikan pilihan dalam menggunakan jilbab.

Masalah KBB vs Hak Perempuan

Dalam general comment 14, hak atas Pendidikan menekankan bahwa Pendidikan sangat penting untuk pemberdayaan perempuan, menjaga anak dari eksploitasi seksual maupun kerja eksploitatif, mempromosikan hak asasi dan demokrasi, melindungi lingkungan dan mengontrol pertumbuhan populasi. Pemaksaan busana muslim yang sudah jelas dampaknya pada anak perempuan telah berdampak pada Kesehatan mental anak perempuan tersebut. Riset HRW membuktikan hal tersebut.  Padahal prinsip pembatasan jelas mengatakan bahwa pembatasan sebagai jalan akhir untuk mencegah diskriminasi dan ketidaksetaraan. Dampak yang dihasilkan dari perda jilbab di sekolah telah menyudutkan perempuan dan menimbulkan ketidaksetaraan gender.

Namun pelarangan total penggunaan symbol agama atau pakaian religius, juga bukan pilihan yang baik karena artinya hal ini akan membuat perempuan yang ingin menggunakan jilbab terlanggar haknya. Namun bagaimana jika jilbab yang digunakan adalah cadar. Beberapa waktu lalu ada banyak larangan menggunakan cadar bagi ASN maupun di kampus. Larangan ini juga tidak terlalu mendasar mengingat satu alsan utama yang muncul adalah mencegah radikalisme dan ekstrimisme, dimana penggunaan cadar tidak bisa menjadi tolak ukur radikalisme dan ekstrimisme. Sama hal dengan bahwa penggunaan cadar bukan untuk mengukur ketakwaan seperti yang disampaikan Menag Fachrul tahun 2019.

Ketiadaan riset yang cukup untuk menunjukan alasan ini tepat, menunjukan stigma yang tinggi terhadap perempuan bercadar dan cadar itu sendiri yang bisa digunakan untuk menyembunyikan identitas si pemakai. Kasus penusukan Wiranto oleh orang bercadar membuat stigma ini makin kuat. Situasi yang sama juga muncul di Eropa sebagai dampai migrasi yang tinggi terhadap perubahan social ekonomi di eropa. Stigma terhadap Islam yang kuat membuat kecurigaan terhadap perempuan bercadar makin besar. Alasan keselamantan dan keamanan public menjadi alasan utama pelarangan cadar oleh negara. Namun Pengadilan HAM Eropa tidak sepenuhnya setuju dengan pelarangan cadar di tempat umum di Perancis maupun di Belgia karena ini hanya berdampak pada perempuan Muslim, dan bahkan dissenting opinion di kasus Leyla Sahin menegaskan bahwa tindakak pelarangan maca mini adalah bentuk paternalism dan menghambat perempuan Muslim untuk memiliki otonomi atas tubuhnya.

Masalah KBB vs Hak Masyarakat Adat

Seperti yang diejlaskan di atas bahwa beberpaa perda terutama di Sumbar menegaskan pentingya menciptakan masyarakat yang cinta Islam dan budaya Minang, dan melestarikan fungsi adat. Hak masyarakat adat dideklarasikan dalam Deklarasi Masyarakat Adat (UNDRIP) yang menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki berbagai hak untuk melestarikan adatnya termasuk penentuan nasib sendiri, otonomi, hingga penguasaan wilayah. Namun dalam bagian pertimbangan juga ditekankan bahwa “berbagai doktrin, kebijakan dan praktek yang berbasis pada atau mendorong superioritas individu atau banyak orang atas dasar nasionalitas, ras, agama, etnis atau perbedaan budaya adalah rasis, salah secara ilmiah, invalid secara hukum, secara moral bisa dikutuk dan tidak adil secara social.”

Dalam konteks ini, pemohon yang berasal dari Lembaga Kerapatan Adat Minang dianggap mewakili masyarakat adat Minang oleh putusan MK. Dilihat dari perda, adat Minang sudah berhasil menjadi adat superior yang justru mendorong pemaksaan non Minang untuk mengikuti adat Minang. Hal ini bertentangan dengan UNDRIP maupun pasal 27 ICCPR terkait perlindungan orang/individu angota kelompok minoritas. Oleh karena itu, perlestarian adat Minang sebaga tujuan dan dasar peminggiran hak orang non Minang tidak dapat dijustifikasi.

Namun perda dan putusan MA ini penting untuk melihat bahwa praktek otonomi daerah di Indonesia yang mendorong identitas budaya/adat sebagai identits politik baru yang perlu dilestarikan. Alasan ini seringkali menjadi dasar untuk membatasi hak warga negara. Namun pembatasan ini tidak dapat dijustifikasi karena tujuan pembatasan yang justru untuk menegasikan hak orang lain yang memiliki adat atau keyakinan berbeda, dan mendorong superioritas adat. Tantangan utama dari HAM justru dalam situasi seperti ini bagaimana HAM digunakan untuk melindungi orang yang minoritas dan marjinal.