Hukum adat tersebut merupakan hasil perbincangan sehari-hari yang dilakukan di kedai kopi, di beranda masjid, sekolah, atau balai desa. Itulah hukum hidup masyarakat. … Bagaimana caranya agar bisa dijadikan peraturan daerah (Perda)?
Sulistyowati Irianto — Commissioner of Komnas HAM
Pencantuman Living Law dalam pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana menuai banyak kritik dari kalangan akademisi dan aktivis masyarakat adat. Pencantuman “living law” yang seharusnya menjadi pengakuan terhadap masyarakat adat Indonesia, namun justru dinilai berpotensi merugikan dalam implementasinya.
Topik ini dibahas secara mendalam pada sidang pleno pertama International Conference and Consolidation on Indigenous Religions (ICIR) yang dilaksanakan pada 22-23 November 2023 di gedung PUI Javanologi Universitas Sebelas Maret Solo. Diskusi bertajuk “Hukum yang Hidup dalam KUHP Baru: Pengakuan atau Pembatasan Masyarakat Adat?” ini dipandu oleh Husni Mubarok sebagai moderator, bersama Sulistyowati Irianto dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Tommy Indriadi dari Aliansi Masyarakat Adat. Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Dewi Kanti Setianingsih dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Samsul Maarif dari Pusat Kajian Agama dan Lintas Budaya sebagai pembicara. Tulisan ini akan menyoroti pokok-pokok bahasan, dengan juga menekankan pokok-pokok permasalahan dalam pencantuman hukum adat dalam KUHP baru.
Memahami pluralisme hukum
Sebagai pembicara pembuka, Irianto mengemukakan perspektif pluralisme hukum untuk mengingatkan kita akan pluralitas hukum yang tidak boleh saling bertentangan, sebagaimana yang saat ini sedang diberlakukan melalui pasal 2 KUHP baru. Setidaknya ada dua persoalan yang dikemukakan Irianto terkait topik ini.
Pertama, ia menunjukkan bahwa negara, komunitas adat, komunitas agama, dan berbagai konteks sosial lainnya memiliki hukumnya sendiri. Undang-undang ini hidup berdampingan dalam konteks sosial yang sama. Tidak masuk akal jika hukum adat dimasukkan ke dalam undang-undang negara dalam bentuk peraturan daerah (Perda) sebagaimana diusulkan dalam KUHP yang baru, karena berlakunya hukum negara tidak boleh meniadakan hukum yang berlaku (hidup) dalam masyarakat. diri. Oleh karena itu, untuk memahami situasi tersebut, perspektif pluralisme hukum penting untuk menunjukkan bahwa ada banyak undang-undang yang diterapkan secara bersamaan dalam setiap konteks sosial. Pencantuman living law dalam KUHP Tahun 2023 mengabaikan kemajemukan tersebut, dengan asumsi hanya struktur hukum yang monolitik yang hidup dalam masyarakat.
Permasalahan kedua adalah mengenai pengertian hukum adat yang tidak dapat dibakukan dalam pengertian yang statis. Hukum adat yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan tidak dapat dipetakan secara pasti karena hukum-hukum tersebut saling berinteraksi dan terus berubah sesuai dengan konteksnya masing-masing. Hukum-hukum yang hidup itu saling menyebar satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan dengan mudah sebagaimana anggapan para pembuat undang-undang. Hal ini terbentuk dalam percakapan di ruang publik, dalam pertemuan informal dan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hukum yang hidup (living law) bersifat sangat dinamis dan tidak mungkin memetakan penerapannya melalui bentuk tertulis yang statis.
Kerentanan
Selain dinamis, Penghayat Komunitas-komunitas di Indonesia sangat beragam komposisinya: ada yang sudah terdaftar, ada pula yang berdasarkan komunitas atauBersamalah, dan ada juga Penghayat yang tidak dapat didaftarkan dengan mudah atau benar. Dalam konteks ini, perumusan peraturan yang mengabaikan keberagaman tersebut akan menimbulkan kebingungan dalam menafsirkan pasal-pasal tertulis, yang cenderung menjadikan masyarakat adat semakin rentan, khususnya perempuan adat.
Salah satu contoh yang diambil Setianingsih dan Irianto adalah sulitnya pencatatan perkawinan keluarga adat. Kesulitan ini membuat rumah tangga Penghayat dianggap sebagai rumah tangga di luar nikah sehingga mereka lebih rentan terhadap stigma negatif dari masyarakat. Oleh karena itu, alih-alih diakui dan diperkuat, pencantuman hukum adat dalam KUHP baru justru berpotensi menjadi sumber kerentanan bagi masyarakat adat, khususnya perempuan yang lebih rentan terhadap stigma sosial. Persoalan tersebut diungkapkan Setianingsih, perempuan penganut Sunda Wiwitan yang juga berkaca dari pengalamannya sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Kerentanan tersebut, menurut Setianingsih, disebabkan kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan peraturan daerah, khususnya masyarakat adat. Oleh karena itu, Setianingsih mendorong pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang di Indonesia.
Tekstualisasi hukum yang hidup
Tekstualisasi hukum adat dalam bentuk peraturan daerah (Perda), dalam pandangan Indriadi, akan melemahkan kedaulatan lembaga adat. Kewenangan lembaga adat (Ind:pranata adat) secara tradisional dipegang oleh para pemimpin adat (Ind: pemangku adat). Jika hukum adat tersebut dijadikan peraturan daerah, maka salah satu implikasinya adalah beralihnya kewenangan dari tokoh adat kepada aparatur negara. Hal ini menjadi problematis karena seringkali logika yang mendasari hukum adat dalam masyarakat berbeda dengan logika negara modern, sehingga belum tentu dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh pejabat negara yang akan membuat peraturan tersebut.
Indriadi juga menyatakan, lahirnya hukum adat menjadi peraturan daerah menunjukkan cara pandang modern yang beranggapan bahwa suatu undang-undang tidak akan berjalan tanpa adanya bentuk tertulis. Ironisnya, pada kenyataannya, menurut Indriadi, hukum adat yang tidak tertulis justru bekerja jauh lebih baik di masyarakat dibandingkan hukum negara yang terus dilanggar meski tertulis, bahkan oleh pembentuk undang-undang sendiri.
Apalagi, menurut pengalaman Indriadi, pembuatan peraturan daerah tidak benar-benar berpedoman pada kepentingan rakyat, melainkan demi keuntungan pembentuk undang-undang. Ketika tidak ada keuntungan nyata yang bisa diperoleh pembuat kebijakan, maka proses pengambilan kebijakan akan berjalan lambat dan terhambat, berbeda dengan kebijakan yang lebih menguntungkan, yang prosesnya bisa sangat lancar, seperti perumusan omnibus law penciptaan lapangan kerja yang baru-baru ini dilakukan. (UU Cipta Kerja) yang hanya memakan waktu delapan bulan, dibandingkan proses RUU Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) yang belum selesai selama satu dekade.
Mengklaim kembali visi dekolonisasi KUHP 2023
Demikianlah berbagai keberatan yang diajukan terhadap pasal 2 KUHP baru yang memuat hukum yang hidup. Pada dasarnya pemahaman yang keliru tentang hukum yang hidup yang mengabaikan sifat hukum yang hidup yang plural, dinamis, dan kontekstual akan bertentangan dengan hukum yang sebenarnya hidup dalam masyarakat. Praktisnya, pemahaman yang keliru ini akan menimbulkan kebingungan bahkan berakibat pada kerentanan masyarakat adat dan komunitas Penghayat, yang diperparah dengan proses pengambilan kebijakan yang berorientasi pada keuntungan dan tidak berpihak pada rakyat.
Maarif menyayangkan rumusan KUHP 2023 yang seharusnya menjadi proyek dekolonisasi, namun justru mereproduksi kolonialitas dengan melanjutkan logika segregasi dan mengedepankan agama dibandingkan tradisi. Masyarakat adat tradisional memahami kehidupan tanpa segregasi, memandang manusia tidak dapat dipisahkan dengan manusia lainnya, dan dengan lingkungannya. Sayangnya pandangan tersebut tidak dipahami dalam rumusan KUHP baru, sehingga direproduksi tafsir-tafsir yang meminggirkan masyarakat adat, meneruskan marginalisasi kolonial.
Oleh karena itu, menurut Maarif, keempat pembicara sepakat perlunya revisi Pasal 2 KUHP yang akan diterapkan. Namun jika dorongan revisi tersebut gagal, maka perlu dilakukan advokasi secara berkesinambungan agar peraturan daerah (Perda) yang dihasilkan hanya mengatur aspek formal dari hukum adat, bukan aspek materiilnya, sehingga keberagaman, dinamika dan kontekstual implementasinya. hukum adat tetap dapat diakomodasi tanpa mengurangi kewenangan pemuka adat. Penafsiran pasal 2 KUHP baru harus dipahami sebagai kontrak kewarganegaraan yang menjunjung tinggi saling pengakuan antara negara dan masyarakat adat. Dalam kontrak tersebut masyarakat adat mengakui negara sebagaimana negara juga mengakui masyarakat adat. Baik negara maupun masyarakat adat berada dalam ruang yang saling tumpang tindih, sehingga diperlukan kesadaran akan pluralisme hukum yang saling mengakui tanpa mengurangi satu sama lain.
Leave a Reply