Advokasi masyarakat adat dan penghayat kepercayaan kian menguat seiring dengan perkembangan riset tentangnya. Dalam catatan perwakilan Intersectional Collaboration for Indigenous Religions (ICIR), Makrus Ali, riset-riset tersebut bukan hanya menyoroti bangunan pengetahuan (episteme) konsep “kepercayaan” dan “agama leluhur.” Mereka melangkah ke arah percakapan antar masyarakat sipil, komunitas, dan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah.
Yang perlu menjadi isu advokasi ke depan adalah perluasannya. “Pertama-tama adalah soal pelayanan hak dasar,” kata Ali dalam presentasinya di diskusi daring Dari Konferensi ICIR 2023: Beberapa Isu Advokasi Hak Penganut Agama Leluhur, oleh Koalisi Advokasi KBB Indonesia, Jumat (22/12) lalu. Ia menyoroti bagaimana pemilik KTP beragama Kepercayaan masih kesulitan meraih beberapa hak dasar mereka sebagai warganegara.
Selain itu, advokasi juga perlu mengarah ke pengakuan terhadap masyarakat adat, serta jaminan kebebasan penghayat kepercayaan untuk mengekspresikan keyakinan dan spiritualitas mereka. Banyak riset menunjukkan bagaimana keyakinan dan spiritualitas mereka berdampak terhadap pelestarian lingkungan hidup. Perhatian terhadap perempuan dan kelompok muda menjadi agenda lain. “Riset-riset itu melihat situasi dan tantangan yang berbeda di wilayah masing-masing,” kata dia.
ICIR pada mulanya adalah inisiatif bersama Yayasan Satunama, CRCS UGM, dan Komnas Perempuan. Ketiga lembaga ini merespons Putusan Mahkamah Konstitusi 97/2016 tentang legalitas penghayat kepercayaan untuk mencantumkan identitasnya di KTP. Surat Edaran Kemendagri, yang terbit di tahun 2018, menegaskan lagi Putusan tersebut dengan pedoman teknis pembuatan KK dan KTP bagi keluarga dan individu Penghayat.
Bentuk respons ketiganya adalah dengan menyelenggarakan International Conference on Indigenous Religions (yang juga disingkat ICIR) di tahun 2019. Waktu itu, perhatian utama ICIR adalah membincangkan bangunan pengetahuan konsep agama leluhur. Lambat laun, makalah yang masuk dan dibahas di dalamnya mengalami perluasan.
“Seiring berjalannya waktu, para akademisi dan NGOs yang memiliki perhatian pada isu masyarakat adat dan penghayat kepercayaan turut terlibat aktif di dalamnya,” kata Ali. Ia menambahkan, keterlibatan tersebut berlanjut menjadi kolaborasi hingga sekarang. Kolaborasi yang bermula di ICIR kedua tahun 2020 dipermudah oleh situasi pandemi, yang menuntut banyak kegiatan untuk berlangsung secara daring. Mereka lantas mengeksplisitkan rencana kolaborasi dalam pelaksanaan ICIR ketiga.
Pemerintah, sebagai salah satu pemangku kepentingan, memberi sambutan baik terhadap kemunculan dan perkembangan ICIR. Kerja sama pemerintah dengan masyarakat sipil pun penting dilakukan. “Di Balai Pelestarian Kebudayaan, Kemendikbud, muncul upaya mengadvokasi masyarakat adat dan itulah yang membuat kami bersedia berkolaborasi (dengan ICIR),” kata pemateri lain, Lita Rahmiati.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII ini mengungkapkan, inisiasi untuk advokasi ini sedari awal bersifat inklusif, sehingga melibatkan masyarakat. Ia juga turut menginisiasi Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Penghayat Kepercayaan, dan melakukan sosialisasinya kepada para pengawas dan pendidik di sekolah. Hal ini karena masih banyak kesalahpahaman di dunia pendidikan sendiri, termasuk anak-anak muda, tentang penghayat yang beragam.
Tapi jika merujuk pada sejarah Indonesia, hak-hak penghayat sebenarnya telah terjamin bahkan sejak Orde Baru. Ini terjadi berkat usaha para penghayat di masa lalu dalam memengaruhi kebijakan pemerintah. “Dalam GBHN 1973, sudah ada jaminan pernikahan bagi penghayat, bahkan mereka bisa menjadi PNS, anggota Polri, dan anggota MPR,” kata perwakilan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia, Engkus Ruswana. Namun, dalam GBHN 1978, terjadi perdebatan yang mengeluarkan penghayat dari kategori agama.
“Inilah yang mendorong penerbitan Keppres 40 tahun 1978 tentang Direktorat Bina Hayat,” tambah Engkus. Salah satu konsekuensinya, negara menempatkan mereka sebagai komunitas budaya, yang dilayani sejauh cakupan urusan kebudayaan. Hak mereka untuk melakukan pernikahan serta urusan-urusan di dalamnya, yang dalam pandangan negara merupakan urusan “agama,” menjadi tak terlayani lagi. KTP mereka pun harus mencantumkan salah satu dari agama besar yang diakui negara.
Sejak itu, perjuangan Penghayat kian berat.”Di masa Orde Baru, kami merasa sendirian, apalagi saat itu tidak ada LSM yang mengadvokasi,” ungkap Engkus. Harapan baru meski tak begitu besar muncul di era Reformasi. Undang-Undang Administrasi Kependudukan tahun 2006 tak lagi memaksakan Penghayat untuk memilih salah satu agama besar yang diakui. “Tetapi masih terdapat kesulitan dalam pernikahan sampai pemakaman,” tambahnya.
Ia pun menduga penerimaan setengah hati atas Penghayat tersebut karena pandangan masyarakat terhadap mereka sebagai aliran sesat atau terbelakang. Inilah yang membuatnya membuka diri untuk bekerja sama dengan NGO dan akademisi. Meski begitu, tantangan dari akademisi juga tak kalah rumitnya. Banyak akademisi yang justru menyudutkan Penghayat karena punya cara pandang yang sama dengan masyarakat.
Engkus pun tetap yakin pemerintah akan mendengar suara akademisi dibanding NGO dan masyarakat adat itu sendiri. Ia lantas berjumpa dengan banyak akademisi yang simpatik dan memandang Penghayat secara benar. Itulah yang menjadikannya turut terlibat dalam ICIR.
Leave a Reply