Penyelesaian konflik pembangunan rumah ibadah, yang biasanya melibatkan klaim-klaim teologis, punya contoh keberhasilannya dalam kasus GKI Yasmin. Meski berlarut-larut sejak tahun 2007, peristiwa di Bogor ini akhirnya selesai ketika semua pihak bersedia menjalani proses mediasi.
Hal ini disampaikan Project Officer The Asia Foundation, Husni Mubarok, dalam Diskusi Virtual Bulanan Koalisi Advokasi KBB Indonesia, Jum’at, 17 Mei 2024, secara daring. Turut hadir sebagai penanggap Direktur Institut Dialog Antar Iman (DIAN)/Interfidei, Elga J. Sarapung, dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bogor.
Bahan utama diskusi kali ini adalah Bab 2 dari buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama: Ketegangan dalam Ragam Pendekatan Advokasi bagi Kelompok Terpinggirkan, yang berjudul “Ragam Pendekatan dalam Mengatasi Pelanggaran Hak Beragama: Studi atas Kasus GKI Yasmin, Bogor (2006-2023).”
Bersama Direktur Indonesian Consortium of Religious Studies (ICRS), Zainal Abidin Bagir, Husni yang saat itu menjadi Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina menuliskan laporan terlengkap sejauh ini tentang peristiwa GKI Yasmin yang kaya akan analisis.
Husni memaparkan uraian tentang dua analisis yang mereka gunakan. Pertama, tentang ragam pendekatan advokasi KBB, yang menimbang apakah kelompok yang mengadvokasi perlu bekerja sama atau tidak bekerja sama dengan pemerintah. Pertimbangan ini menjadi penting mengingat advokasi lewat jalur hukum kerap menjadi pilihan.
Ketika advokasi di ranah hukum (litigasi) berjalan, para aktor KBB (non-negara) akan berhadapan dengan aktor negara di meja pengadilan. Namun, dalam konteks tertentu seperti dalam kasus GKI Yasmin, hadir aktor non-negara lain, yakni masyarakat menolak pembangunan gereja. Ini menjadikan advokasi berlarut-larut.
Pisau analisis kedua adalah manajemen, resolusi, dan transformasi konflik. Jika manajemen konflik berarti pengelolaan konflik agar para pihak mau duduk bersama menyelesaikan konflik, maka resolusi konflik menindaklanjuti itu dengan menghadirkan pihak ketiga untuk memandu penyelesaiannya.
“Pada tahap awal kasus, advokasi atas GKI Yasmin berlangsung lewat cara litigasi (2006-2011),” kata Husni. Tahap kedua kasus ini, 2012-2017, mulai menggunakan jalur non-litigasi, tetapi masih mengalami kebuntuan. “Di tahap ini, Bima Arya (Walikota Bogor saat itu-red) mulai menyadari bahwa penyelesaiannya ternyata rumit,” tambah Husni.
Kerumitan terjadi terutama karena konflik yang berkembang di tengah masyarakat sudah sangat meluas. Menghadirkan para aktor yang terlibat, bukan hanya negara (dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor) dan GKI Yasmin tetapi juga masyarakat yang menolak, bukan perkara yang mudah.
“Barulah di tahap ketiga konflik, 2018-2023, yang bersamaan dengan periode kedua kepemimpinan Bima Arya, mediasi berlangsung kembali hingga menghasilkan kesepakatan,” pungkas Husni. Pemkot Bogor memberi lahan pengganti yang disetujui pihak gereja. Nama baru lokasi itu adalah GKI Bogor Barat.
Dimensi Kultural untuk Transformasi
Yang tak kalah penting adalah analisis ketiga, yakni transformasi konflik. Bergabung dari Manado, Elga menyampaikan pernyataan penting bagi transformasi konflik. Ia menyatakan pentingnya melihat KBB melampaui perkara hukum. “Yang terpenting adalah kultur yang adil dan menghargai perbedaan,” ungkapnya.
Dengan pengalaman puluhan tahun di DIAN/Interfidei, Elga menekankan pentingnya memenuhi keadilan psikologis, sosial, budaya, dan ekonomi dalam setiap penanganan konflik, termasuk konflik antaragama. “Apakah memang relokasi menyelesaikan persoalan KBB dan mendidik semua pihak, baik aktor negara maupun non-negara, dalam soal menghargai KBB?” tanya dia.
Ketika menyoroti proses mediasi GKI Yasmin, ia mempertanyakan pula mengapa beberapa pertemuan terbatas saat itu tidak melibatkan Bimas Kristen. “Dalam catatan saya, yang terlibat hanya Bimas Islam, Kemenag, Pemkot, Kemendagri, dan MUI Kota Bogor,” ucapnya.
Hal ini dijawab oleh Hasbulloh. Ketika mendapat giliran berbicara, ia menyatakan unsur GKI Yasmin terwakili lewat Tim 7 yang ditunjuk langsung oleh Jayadi Damanik dan Bona Sigalingging sebagai petinggi GKI Yasmin. “Tim 7 menjadi representasi yang dipilih oleh Sinode sendiri, bukan oleh Pemkot,” ucapnya.
Terkait hasil riset yang menjadi bahan utama diskusi ini, Hasbulloh memberikan apresiasinya. “Kerja semua unsur di Kota Bogor menjadi teramplifikasi, apalagi Kang Husni menyampaikan dengan cukup teliti, terutama pergeseran dari manajemen konflik ke resolusi konflik,” kata dia.
Sebelum kepemimpinan Bima Arya, tambahnya, relokasi pernah dilakukan tetapi tidak berhasil. Inilah yang menjadi komentarnya terhadap hasil riset ini. “Untuk hasil mediasi yang berhasil ini, kami menggunakan istilah fasilitasi, bukan relokasi,” ungkap Hasbulloh. Perubahan nama menjadi GKI Bogor Barat setelah fasilitasi juga berdasarkan kesepakatan.
“Fasilitasi ini konstitusional, karena mewajibkan negara hadir,” kata dia. Pemindahan lokasi bernama fasilitasi ini adalah hasil mediasi terakhir, karena sebelumnya telah berlangsung mediasi di kalangan internal gereja pula untuk menentukan Tim 7.
Untuk sampai pada transformasi konflik, menurutnya, adalah dengan mewujudkan pemerintahan yang inklusif, menghormati HAM, dan berpihak pada korban. Di Bogor, diperlukan pemetaan yang baik terhadap para pemangku kepentingan, untuk memahami apa yang menjadi aspirasi mereka dan apa yang kemungkinan akan terjadi setelahnya.
Pandangan ini diamini oleh Husni. Menurutnya, penegakan keadilan, pemenuhan HAM, dan mewujudkan perdamaian adalah cita-cita terjauh.
Leave a Reply