Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Pesan-pesan dari Cisarua untuk Negara dan Sesama Pembela KBB

Indonesia adalah negeri bagi banyak suku, agama, dan keyakinan. Namun, tak banyak yang memikirkan bagaimana negara memenuhi hak-hak mendasar untuk perlindungan atas kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Untuk itu, mereka yang berjumlah sedikit itu harus terus bertemu dan saling mendukung, memperjuangkan KBB.

Pesan di atas disampaikan Anggota Dewan Pengarah Sekretariat Bersama Koalisi Advokasi KBB Indonesia (Sekber KBB), Ahsan Jamet Hamidi, dalam sambutannya di Diskusi Virtual Bulanan Sekber KBB, Pesan-pesan dari Cisarua 2024: Catatan Pasca-Konferensi dan Sekolah Advokasi KBB, yang berlangsung secara daring, Jumat, 25 Oktober 2024.

Diskusi virtual ini membahas hasil Konferensi Refleksi Advokasi KBB Indonesia 2024 di Cisarua, Bogor, pada September 2024 lalu. Empat narasumber hadir, yakni Pratiwi Febry (YLBHI), Adam Pantouw (Humanesia), Alifa Ardhyasavitri (Sekber KBB/PUSAD Paramadina), dan Gispa Ferindanda Warijo (Sa Perempuan Papua), dengan moderator Suci Ambarwati (Sekber KBB).

Rekomendasi untuk Negara

Pratiwi menceritakan proses meraih peserta muda untuk Konferensi ini, yakni melalui kelas daring Raise Your Voice! yang diselenggarakan YLBHI. Para peserta kelas ini mendalami materi interseksionalitas KBB dan isu lain, yang belakangan ini mulai mendapatkan perhatian banyak kalangan, karena isu KBB berkaitan dengan isu HAM lain.

“Teman-teman peserta juga diperlengkapi dengan keterampilan yang teknis seperti cara membuat kampanye, karena advokasi KBB membutuhkan senjata yang harus diupayakan,” kata Pratiwi. Berbicara soal kampanye berarti berbicara mengenai situasi, konteks, dan akar budaya dari sasaran kampanye. Untuk mengampanyekan toleransi, misalnya, perlu mempelajari nilai hidup dan memetakan risiko yang mungkin dihadapi.

Setelah itu, Pratiwi membahas secara kronologis bagaimana Konferensi KBB berlangsung, lalu mengakhiri pemaparannya dengan membacakan rekomendasi. Rekomendasi ini diserahkan kepada Staf Khusus Presiden, Rumadi, yang hadir di hari terakhir Konferensi.

“Pertama, kebijakan mengenai adanya agama yang diakui harus dihapuskan. Kedua, pengertian agama harus diperluas, termasuk kepercayaan, keyakinan di dalam agama, tidak beragama, dan tidak mengakui apapun. Ketiga, menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu, termasuk diskriminasi terhadap minoritas agama atau kepercayaan.

“Keempat, penanganan konflik keagamaan mesti diselesaikan dengan perspektif HAM, bukan keamanan atau ketertiban sosial. Kelima, negara menghormati dan menjamin hak KBB secara interseksionalitas. Keenam, pemerintah meningkatkan pemahaman/pengetahuan publik, aparat, dan tokoh agama mengenai KBB yang berbasis HAM, bukan moderasi beragama. Ketujuh, pemerintah merancang UU tentang KBB untuk menjamin semua rekomendasi di atas,” ungkap Pratiwi.

Pertemuan yang Penting

Konferensi ini juga menjadi kesempatan bagi para penggiat KBB di Indonesia untuk bertemu. Adam, yang mengikuti Konferensi ini sejak 3 tahun terakhir, mengungkapkan betapa pentingnya Konferensi ini karena mempertemukan para akademisi, peneliti, dan aktivis di tempat yang sama. “Para Dewan Pengarah juga bekerja tanpa lelah, seperti guru yang menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, dalam menyukseskan acara ini,” ungkapnya. Ia menyoroti komposisi gender dan representasi penganut agama atau keyakinan, termasuk yang tidak beragama, dalam Dewan Pengarah. Bagi Adam, hal itu penting bagi penentuan arah kebijakan Koalisi ke depan, termasuk dalam penentuan isu dan tema Konferensi berikutnya.

Alifa menguraikan bagaimana Sekolah Advokasi KBB, yang diselenggarakan Sekber KBB, berlangsung sejak sesi daring hingga pertemuan langsungnya. Seperti dalam Raise Your Voice!, peserta Sekolah Advokasi KBB mendapatkan materi teoritis dan praksis KBB dari para narasumber, yang sebagian besarnya adalah Dewan Pengarah Sekber KBB, sebelum berjumpa langsung dalam mengikuti Konferensi ini. Selain memaparkan sejumlah materi yang sudah didapatkan peserta Sekolah Advokasi, Alifa juga memaparkan pengalaman ekskursi di Kebun Raya Bogor dan beberapa rumah ibadat di  Kota Bogor.

Sementara itu Gispa, yang akrab disapa Gege, membahas pengalamannya sebagai peserta Sekolah Advokasi KBB yang hadir di Konferensi. “Biasanya Konferensi berjalan kaku. Namun, Konferensi kali ini lebih santai dan akrab,” kata dia. Meski terdapat beberapa perbedaan pendapat ketika sesi-sesi panel, lanjut Gege, para peserta bisa bercengkerama lagi saat keluar ruangan dan menikmati hidangan. Ia juga mendapat banyak pengetahuan langsung yang memperkaya apa yang sudah dipelajarinya di ruang kampus, seperti analisis terhadap konflik etnis.