Ringkasan:
● Perempuan menjadi kelompok paling rentan dalam konflik berbasis agama dan keyakinan.
● Diskriminasi berlapis membuat perempuan menghadapi kekerasan fisik, spiritual, dan ekonomi.
● Perempuan berperan penting dalam merawat perdamaian dan mendokumentasikan pelanggaran KBB.
Oleh: Rikhul Jannah | Republikasi dari NU Online
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2010-2014, Yuniyanti Chuzaifah, mengatakan bahwa perempuan beragama menjadi kelompok paling rentan ketika negara gagal memastikan perlindungan terhadap kelompok beragama dan berkeyakinan.
Hal tersebut ia sampaikan dalam acara diskusi film “Namaku Perempuan” yang diselenggarakan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Barat (Fatayat NU Jabar) di Cafe Outlier, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada Rabu (19/11/2025).
Ia mengatakan bahwa isu kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tidak terlepas dari perspektif gender karena perempuan kerap menanggung beban berlapis saat diskriminasi terjadi.
“Upaya membangun toleransi tidak cukup hanya dengan menghargai perbedaan, tetapi wajib dibarengi juga dengan pembelaan terhadap kelompok yang mengalami penistaan, diskriminasi, dan peminggiran. Ukhuwah Islamiyah perlu ditambah dengan insaniyah dan alamiyah agar hubungan kemanusiaan ini tetap erat,” ujarnya.
Dalam sejarah konflik agama di Indonesia, Yuni menuturkan bahwa pada tahun 1965 terjadi pemaksaan identitas keyakinan, sementara kolonialisme telah membentuk relasi kuasa yang timpang dan terus diwariskan hingga kini.
“Dalam konflik berbasis agama, perempuan sering kali berada di garis paling rentan. Tragedi 1965 telah menciptakan jejak trauma yang masih belum selesai hingga kini,” katanya.
Ia menguraikan berbagai bentuk kerentanan yang dimulai dari ancaman kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga akibat pemaksaan keyakinan, hingga kekerasan spiritual seperti pelarangan ibadah.
Dari sisi ekonomi, ia menyebut perempuan kerap mengalami hambatan dalam mengakses sumber daya, terutama ketika berada di pengungsian atau mengalami pengusiran paksa.
“Perempuan-perempuan ini kesulitan memperoleh pangan layak, akses kesehatan, serta kehilangan aset yang sulit direbut kembali. Tidak jarang mereka mengalami segregasi sosial yang semakin mempersempit ruang hidup,” katanya.
Ia mengatakan, dalam situasi kerentanan tersebut, perempuan juga memainkan peran penting dalam merawat perdamaian.
“Perempuan juga berkontribusi besar dalam mendokumentasi kasus KBB di Indonesia, melakukan penelitian sejarah konflik, hingga penyusunan laporan ke PBB. Mereka ini terus menyuarakan narasi-narasi hentikan perang beragama dan merekonstruksi sejarah perdamaian,” ujarnya.
Yuni menegaskan bahwa toleransi tidak cukup hanya dengan menghargai perbedaan, tetapi negara juga perlu membela hak perempuan dari kelompok minoritas yang selama ini mengalami diskriminasi.
“Pemaknaan keadilan gender ini perlu diperluas lagi. Positif feminitas yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus mengalah atau menang melalui penaklukan, seharusnya menempatkan perempuan untuk mengutamakan kerja sama dalam penyelesaian konflik secara damai,” pungkasnya.
Editor: Andrianor








Leave a Reply