Ringkasan:
● Seminar membahas dampak penerapan KUHP Nasional terhadap ruang kebebasan beragama di tingkat lokal.
● Pembicara menyoroti potensi kriminalisasi, pasal karet, dan perlunya penguatan respons masyarakat sipil.
● Solusi ditekankan pada pentingnya solidaritas lintas agama dan pendidikan publik untuk mencegah pelanggaran KBB.
Oleh: Risdo Simangunsong | Republikasi dari Jakatarub
Senin (24/11/2025) diadakan seminar bertajuk “Dampak Penerapan KUHP Nasional terhadap Kebebasan Beragama dan Kehidupan Bergereja.”
Bertempat di Gereja Utusan Pantekosta di Indonesia (GUPdI) Bandung, acara ini digelar untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai konsekuensi diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, yang akan efektif berlaku pada Januari 2026, terhadap situasi keberagaman serta kehidupan beragama di tingkat lokal.
Seminar ini diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia – Wilayah Jawa Barat, Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI) Jawa Barat, Perwakilan Gereja-Gereja dan Perkumpulan Kristen (PGPK) Kota Bandung, PSPP Nawang Wulan/JAKATARUB, serta Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Bandung.
Acara seminar menghadirkan tiga pembicara utama: Dr. Nella Sumika Putri, S.H., M.H., dosen dan peneliti Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran; Direktur PSPP Nawang Wulan, Wawan Gunawan, M.Ud.; dan Pdt. Dr. Albertus Patty dari GKI Maulana Yusuf.
Dalam uraiannya, Dr. Nella membahas sejumlah pasal dalam KUHP 2023, termasuk perubahan mendasar yang memengaruhi ruang kebebasan beragama/berkeyakinan (Pasal 300–305). Ada kemajuan normatif, namun juga terdapat persoalan dan tantangan lama terkait penegak hukum, politik hukum, dan hal-hal di luar hukum, yang berpotensi muncul kembali dalam bentuk berbeda. Ia menekankan pentingnya langkah strategis untuk memperkuat pemantauan, pendidikan publik, serta mekanisme respons cepat dalam menghadapi potensi dampak negatif, termasuk risiko kriminalisasi yang mungkin menimpa kelompok rentan.
Wawan Gunawan memaparkan rangkaian kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang pernah terjadi di Jawa Barat dan membutuhkan pendekatan strategis yang terintegrasi. Di sisi lain, ia menegaskan pentingnya penegakan hukum dan HAM yang konsisten serta program deradikalisasi yang berpihak pada korban dan kelompok rentan.
“Kalau kita ingin perubahan yang nyata, komunitas Kristen tidak boleh terus terjebak pada minority syndrome. Harus hadir, membangun jejaring, dan ikut menggerakkan agenda toleransi di ruang publik,” ujarnya, seraya mengingatkan bahwa kekuatan masyarakat sipil dan komunitas lintas agama merupakan fondasi penting dalam menciptakan kehidupan beragama yang setara dan inklusif.
Pdt. Dr. Albertus Patty juga menyoroti perlunya membangun modal intelektual melalui literasi dan pendidikan, serta memperkuat solidaritas lintas agama. Ia mengingatkan bahwa pelanggaran KBB kerap terjadi karena aparat menggunakan pasal karet dan menegakkan hukum berdasarkan tekanan dari kelompok mayoritas, sehingga masalah lama terus berulang.
Seminar ini dihadiri oleh 60 peserta dari Bandung Raya, serta 110 peserta daring dari berbagai kota di Indonesia. Keragaman latar belakang peserta menunjukkan besarnya perhatian publik, khususnya komunitas Kristiani, terhadap arah implementasi KUHP baru dan dampaknya bagi kehidupan beragama yang inklusif.
Editor: Andrianor










Leave a Reply