Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Pelatihan PFA–TIS: Perkuat Dukungan Psikososial Korban Kekerasan Berbasis Agama

(Foto: Mahasiswa Psikologi Universitas Kristen Maranatha)

Ringkasan:
● Pelatihan PFA–TIS memperkuat kapasitas pendamping lintas iman dalam merespons trauma korban kekerasan berbasis agama.
● PFA membekali pendamping dengan keterampilan dukungan psikososial awal yang aman, empatik, dan sensitif trauma.
● TIS mendorong komunitas membangun sistem pendampingan terstandar untuk mencegah trauma berulang dan memperkuat pemulihan.

Oleh: Ucu Cintarsih | Republikasi dari JAKATARUB

JAKATARUB bekerja sama dengan mahasiswa Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha, didukung oleh WCC Pasundan Durebang, menyelenggarakan Pelatihan Strategi Dukungan Psikososial Berbasis Trauma: PFA–TIS untuk Korban Kekerasan Berbasis Agama. Kegiatan ini berlangsung di Kantor Sinode GKP Bandung pada Sabtu (6/12/2025). Peserta pelatihan terdiri dari para pendamping, pegiat lintas iman, perwakilan kelompok agama dan kepercayaan rentan, advokat hukum, serta pengurus JAKATARUB.

Dampak Kekerasan Berbasis Agama dan Kebutuhan Dukungan Psikososial

Tren peningkatan pelanggaran kebebasan beragama menempatkan kelompok agama pada situasi yang kian kompleks. Mulai dari pembubaran kegiatan, ancaman, pelarangan aktivitas keagamaan, hingga perundungan; semuanya meninggalkan dampak psikologis jangka panjang bagi korban maupun komunitasnya.

Tak hanya korban, para pendamping dan pegiat lintas iman juga berisiko mengalami secondary trauma akibat paparan berulang terhadap kisah-kisah kekerasan. Dalam konteks ini, kemampuan memberikan dukungan psikososial awal yang aman, tidak menghakimi, dan sensitif terhadap trauma menjadi kompetensi mendasar yang wajib dimiliki oleh setiap pendamping.

PFA–TIS sebagai Strategi Pendampingan Berbasis Trauma

Sesi pertama pelatihan berfokus pada Psychological First Aid (PFA). PFA merupakan pendekatan pertolongan pertama psikologis yang dapat dilakukan oleh pendamping yang telah mendapatkan pelatihan dasar. Fasilitator Mini Anggraini memaparkan tahapan inti PFA, mulai dari memastikan keamanan hingga menghubungkan korban dengan layanan pendampingan yang relevan.

Peserta kemudian mempraktikkan materi tersebut melalui studi kasus dan role play. Latihan ini bertujuan membantu peserta memahami bagaimana trauma muncul dari peristiwa yang mengancam, pengalaman subjektif, serta respons fisiologis dan emosional. Salah satu kasus mensimulasikan seorang remaja yang enggan kembali ke tempat ibadah setelah mengalami pembubaran paksa dan intimidasi massa. Melalui simulasi ini, peserta belajar untuk hadir secara empatik tanpa memberikan tekanan atau janji-janji yang tidak realistis kepada korban.

Pada sesi kedua, peserta mempelajari Trauma-Informed System (TIS) yang difasilitasi oleh Lydia Arderiana. TIS diperkenalkan sebagai kerangka organisasi yang membantu komunitas membangun kebijakan, pola komunikasi, dan tata kelola yang mampu mencegah trauma berulang. Peserta melakukan audit pada komunitas masing-masing menggunakan 10 indikator TIS. Indikator tersebut mencakup keberadaan SOP pendampingan, pengelolaan ruang aman, mekanisme rujukan, serta pelibatan korban dalam pengambilan keputusan.

Banyak peserta menyadari bahwa organisasi mereka belum memiliki struktur tertulis atau respons yang konsisten dalam menghadapi kekerasan berbasis agama. Melalui pelatihan ini, peserta diharapkan tidak hanya memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga memahami langkah-langkah praktis dalam merespons kasus kekerasan berbasis agama. Selain itu, pelatihan ini diharapkan mendorong komunitas untuk mulai menyusun sistem pendampingan yang lebih aman, terstandar, dan berperspektif trauma.

Dengan meningkatnya risiko psikologis, baik bagi korban maupun pendamping, kegiatan ini menjadi langkah awal untuk memperkuat ekosistem pendampingan lintas iman yang memprioritaskan keselamatan, pemulihan, dan keberlanjutan dukungan psikososial.

Editor: Andrianor