Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Warning Behaviors: Melindungi Malam Natal dari Ancaman Radikal-Terorisme

Ringkasan:
● Deteksi warning behaviors krusial untuk mencegah transformasi radikalisme menjadi aksi teror nyata.
● Pola radikalisasi kini lebih sunyi dan individual, menuntut kewaspadaan rasional berbasis deteksi dini.
● Keamanan Natal terjaga melalui sinergi otoritas dan resiliensi sosial berbasis kasih sayang.

Oleh: Yusra R. Nugroho | Republikasi dari Harakatuna.com

Setiap tahun, menjelang Natal, kota-kota di Eropa berubah menjadi ruang yang penuh cahaya, musik, dan pasar tradisional yang padat pengunjung. Kehangatan menyatukan keluarga, wisatawan, dan warga lokal dalam semangat berbagi kegembiraan. Namun, di balik atmosfer perayaan itu, terdapat bayang-bayang ancaman yang tidak pernah benar-benar hilang. Pengalaman pahit beberapa tahun terakhir mengingatkan bahwa ruang publik yang meriah sekalipun dapat menjadi target kekerasan ideologis.

Ingatan kolektif Eropa masih terpatri pada tragedi pasar Natal Berlin pada Desember 2016, ketika seorang pelaku memacu truk ke kerumunan, menewaskan 12 orang, dan melukai puluhan lainnya. Kasus tersebut mengungkap celah dalam sistem penilaian ancaman: informasi sebenarnya tersedia cukup banyak, tetapi gagal diprioritaskan dan ditindaklanjuti secara real time. Pada titik inilah muncul urgensi untuk memahami transformasi individu dari radikal-ekstremis menjadi pelaku aksi teror.

Tahun-tahun setelah itu, sejumlah rencana serangan berhasil digagalkan. Baru-baru ini, otoritas Jerman kembali menangkap lima orang yang diduga merencanakan serangan kendaraan di pasar Natal Bayern. Motif dan modus belum sepenuhnya terungkap, tetapi pola awalnya menyerupai kasus-kasus terdahulu: kolaborasi kelompok kecil, peran figur ideologis, dan target kerumunan sipil di musim Natal dan Tahun Baru (Nataru). Peristiwa ini mengingatkan bahwa aktor tunggal (single actor) tetap menjadi tantangan serius dalam kontra-terorisme.

Hal yang menarik dari dua peristiwa berbeda—tragedi Berlin 2016 dan penangkapan terkini di Bayern—bukan semata tindakan kekerasan atau rencana serangannya, melainkan warning behaviors (perilaku peringatan) yang muncul sebelumnya. Proses identifikasi, obsesi ideologis, kebocoran niat, hingga pencarian jalan menuju aksi teror kerap meninggalkan jejak sosial-psikologis yang dapat diamati. Ketika tanda-tanda tersebut tidak dikenali atau tidak ditindaklanjuti secara sistematis, risiko tragedi pun meningkat.

Para peneliti telah mengembangkan kerangka kerja terstruktur untuk membaca warning behaviors ini. Namun, implementasi dan sinkronisasi antarlembaga masih menjadi tantangan. Kasus Berlin menunjukkan bahwa data yang berlimpah justru dapat mengganggu pengambilan keputusan jika tidak diorganisasi melalui instrumen penilaian risiko yang valid. Sementara itu, kasus Bayern memperlihatkan bahwa koordinasi yang cepat dan terarah dapat mencegah rencana kekerasan berkembang lebih jauh.

Menjelang Natal ini, urgensi untuk mengamati warning behaviors bukanlah ajakan untuk mencurigai sesama atau memperbesar rasa takut di ruang publik. Justru sebaliknya, hal ini penting untuk memahami tanda-tanda risiko, lalu membantu masyarakat dan otoritas bekerja sama menjaga keamanan tanpa kehilangan esensi perayaan Natal itu sendiri. Perayaan dan kebijakan keamanan bertemu, kemudian membentuk resiliensi sosial berbasis kewaspadaan, bukan paranoia terhadap tragedi masa lalu.

Mengapa Tetap Perlu Waspada?

Pertanyaan ini kerap muncul setiap kali aparat mengumumkan peningkatan patroli menjelang Natal. Banyak orang merasa Eropa hari ini jauh lebih siap dibandingkan satu dekade lalu. Pengamanan pasar-pasar Natal telah ditingkatkan, kanal informasi antarlembaga dipertegas, dan masyarakat menjadi lebih peka terhadap potensi ancaman.

Namun, jika menilik pola serangan beberapa tahun terakhir dan dinamika radikalisasi, jawabannya tetap sama: kewaspadaan masih diperlukan karena satu alasan utama, yakni pola ancaman kini semakin sulit diprediksi. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa ancaman terhadap ruang publik tidak pernah sepenuhnya hilang, meskipun intensitasnya naik dan turun. Kasus Berlin 2016 tetap menjadi momok yang menakutkan, sebagaimana bom Natal 2000 yang lukanya belum sepenuhnya sembuh.

Penangkapan lima tersangka di Bayern tahun ini, sebagai contoh, menjadi bukti konkret bahwa bahkan ketika otoritas telah memperkuat sistem keamanannya, kelompok radikal-teroris kecil masih dapat mencoba memanfaatkan momen keramaian Natal untuk melancarkan kekerasan simbolik. Tantangannya bukan semata seberapa besar jaringan mereka, melainkan seberapa cepat warning behaviors mereka terdeteksi. Di Indonesia, situasinya kurang lebih serupa.

Radikalisasi masa kini berlangsung cepat dan semakin oportunistik. Pelaku tidak lagi harus menjadi bagian dari organisasi teror besar; cukup dengan mengadopsi ideologi melalui kanal digital dan merasionalisasi aksi teror mandiri (lone wolf). Para peneliti menyebutnya sebagai low-signature radicalization, yakni proses penguatan ekstremisme dengan sinyal yang minim sehingga menuntut kewaspadaan ekstra. Dengan kata lain, ancaman menjadi lebih sunyi, tetapi tetap berbahaya. Oleh karena itu, kewaspadaan menjadi sesuatu yang niscaya.

Kendati demikian, batas yang jelas perlu ditarik antara ‘kewaspadaan’ dan ‘ketakutan berlebihan’. Otoritas Eropa kini jauh lebih terkoordinasi dibandingkan sebelum 2016. Penggunaan instrumen penilaian risiko seperti VERA-2, ERG-22+, atau TRAP-18 membantu mengubah tumpukan data menjadi analisis ancaman yang lebih terarah. Penangkapan cepat dalam kasus Bayern menunjukkan bahwa indikator ancaman dapat dikenali secara modular, mulai dari ajakan ideologis, niat aksi, hingga rencana ekstrem lainnya.

Jadi, apakah masyarakat masih perlu waspada? Jawabannya jelas: ya. Namun, caranya harus rasional, bukan emosional. Waspada karena pola ancaman berubah, bukan karena bahaya meningkat secara drastis. Waspada karena warning behaviors dapat muncul dalam wujud baru, bukan karena asumsi bahwa setiap perayaan Natal pasti berujung tragedi teror. Waspada bukan berarti mengorbankan kebebasan, melainkan memahami bahwa keamanan publik adalah tanggung jawab bersama.

Merajut Tali Kasih

Natal tetap menjadi perayaan tentang kedekatan antarsesama dan solidaritas lintas perbedaan. Justru karena semangat itulah, upaya menjaga keamanan publik harus dipahami sebagai bentuk perawatan atas prinsip kemanusiaan yang menjadi inti Natal itu sendiri. Dari sudut pandang ini, kontra-terorisme bukan hanya urusan aparat dan perangkat hukum, melainkan juga kerja sosial bersama untuk mempertahankan ruang aman bagi setiap orang dalam merayakan hidup sesuai ajaran agamanya.

Merajut tali kasih mungkin merupakan pandangan dunia (worldview) yang cocok. Kontra-terorisme menuntut kerja panjang untuk membangun rasa saling percaya dan mempersempit ruang tumbuh ideologi kebencian. Kerentanan sering kali muncul ketika seseorang merasa terisolasi atau menemukan pembenaran ideologis dalam narasi ekstrem yang memberi identitas instan sebagai “pejuang”. Menjawab kondisi tersebut membutuhkan pendekatan kemanusiaan yang inklusif dan berkelanjutan.

Warning behaviors memberikan pemahaman bahwa ancaman terbentuk melalui proses: obsesi, identifikasi radikal, kebocoran niat, hingga pencarian jalur menuju aksi teror. Ketika masyarakat mampu mengenali perubahan perilaku yang mengarah pada risiko, ruang untuk intervensi menjadi terbuka lebar. Intervensi yang dilakukan dengan empati dan ketepatan dapat menghentikan potensi tragedi sebelum aksi terjadi.

Merajut tali kasih juga berarti menolak narasi ketakutan yang memecah belah. Terorisme selalu bertujuan menciptakan keterpecahan antaragama dan antarwarga. Ketika masyarakat justru merespons dengan solidaritas, daya rusak teror otomatis melemah. Sejarah menunjukkan bahwa kota-kota yang mampu bangkit dari tragedi bukan semata karena kekuatan aparat, melainkan karena kekuatan sosial yang mengikat warganya untuk saling menjaga.

Dengan demikian, menjaga keamanan Natal adalah upaya membangun ekosistem sosial yang kuat dan masyarakat yang tangguh—masyarakat yang mempersulit radikalisasi dan mempercepat intervensi ketika tanda-tandanya muncul. Keamanan dan kemanusiaan bukan dua kutub yang saling bertentangan; keduanya justru saling menopang. Di ruang publik yang aman, kasih dapat tumbuh. Dan di ruang publik yang penuh kasih, ancaman teror kehilangan tempatnya.

Dengan semangat tali kasih itulah Natal tahun ini layak dirayakan. Bukan dengan paranoia, melainkan kewaspadaan yang bijak. Bukan dengan kecurigaan, melainkan solidaritas dan resiliensi. Bukan dengan ketakutan, melainkan keberanian untuk merawat sesama. Pada akhirnya, merajut tali kasih adalah bentuk kontra-terorisme paling kuat: keyakinan bahwa cahaya kebersamaan selalu lebih kuat daripada upaya apa pun untuk memadamkannya. Dengan tali kasih, aksi teror kehilangan relevansinya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Editor: Andrianor