Kebebasan beragama telah menjadi salah satu aspek penting dalam hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 1948. Namun, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) terus mengalami tantangan sepanjang sejarah kehidupan manusia. Hingga kini ia terus diperdebatkan dan tantangan yang dihadapi semakin besar dan mendesak di berbagai sektor penting, seperti modernitas, budaya dan masyarakat sipil, politik dan identitas, keamanan, hingga konflik. Demikian sambutan Prof. Djagal Wiseso, Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pembelajaran dan Kemahasiswaan Universitas Gadjah Mada (UGM), pada pembukaan Konferensi Internasional tentang Religion and Human Rights pada 18 Juli 2022. “Agama dan hak asasi manusia merupakan isu yang sangat penting, oleh karena itu konferensi ini patut diapresiasi,” ujarnya.
Setelah sambutan wakil rektor dan dekan, Dr. M. Iqbal Ahnaf, ketua panitia, membuka konferensi ini secara resmi. Menurutnya, ada banyak literatur yang meneliti hubungan antara agama dan hak asasi manusia, mulai dari ketegangan antara atau konvergensi keduanya, upaya untuk membangun pembenaran agama atas prinsip-prinsip hak asasi manusia, atau eksplorasi berbagai dimensi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB). Konsensus mengenai hal-hal tersebut bukanlah isu utama, melainkan diskusi yang terus berlanjut. Namun demikian, pemajuan hak asasi manusia sebagian tergantung pada penanganan isu-isu tersebut secara memuaskan dan kemampuan untuk mengkontekstualisasikan hak asasi manusia dalam pengalaman hidup yang beragam dari komunitas-komunitas keagamaan. Ia mencatat bahwa banyak kampus mengajarkan hak asasi manusia, hukum, dan agama, tetapi persinggungan di antara ketiganya dan juga isu-isu spesifik tentang kebebasan beragama jarang tersentuh dalam kurikulum pengajaran.
Konferensi ini diselenggarakan di Yogyakarta dan berlangsung selama tiga hari, 18-20 Juli 2022 secara daring dan luring. Banyak lembara terlibat dalam penyelenggaraan konferensi: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS); Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS); SEPAHAM Indonesia (Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia); Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Multikulturalisme dan Migrasi, Universitas Jember; Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera; Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia; Pusat Studi Agama dan Isu-isu Kontemporer (PuSAIK), Sekolah Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara ini terselenggaran atas dukungan dari the Oslo Coalition for Freedom of Religion or Belief (Universitas Norwegia) dan International Center for Law and Religion Studies (Brigham Young University). Konferensi mengambil tema “Agama dan Hak Asasi Manusia: Peluang dan Tantangan Pedagogis dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia.” Konferensi ini dihadiri oleh para akademisi dan praktisi hak asasi manusia Indonesia dan para alumni Fellowship Freedom of Religion or Belief Fellowship yang berasal dari berbagai universitas di Indonesia.
Konferensi ini juga sekaligus menjadi refleksi tentang pendidikan agama dan hak asasi manusia di perguruan tinggi. Dr. Lena Larsen, Direktur Oslo Coalition, mengatakan bahwa mempromosikan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) merupakan tanggung jawab semua pihak: pemuka agama, pejabat pemerintah, politisi, diplomat, dan tentu saja para akademisi. Bagi Larsen, KBB bukanlah tentang agama, tetapi tentang hak setiap orang untuk memiliki keyakinan atas agama yang dianutnya. Oleh karena itu, menurut Larsen, penting untuk membangun pengetahuan tentang KBB dan di sinilah peran akademisi sangat dibutuhkan, karena akademisi tidak berurusan dengan klaim kebenaran, tetapi dengan kajian dan penelitian. Jika pengetahuan tentang KBB dikembangkan dengan baik, maka hal itu dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya di lapangan.
Leave a Reply