Ringkasan:
● Warga Sukahaji mengalami serangan bersenjata dan penggusuran paksa oleh kelompok ormas.
● Aksi penggusuran paksa ini melanggar hukum, merupakan eigenrichting, dan pelanggaran berat HAM.
● Warga menuntut negara mengusut tuntas kekerasan, menghentikan kriminalisasi, dan menjamin perlindungan hukum.
Republikasi dari LBH Bandung
Konflik tanah di Sukahaji masih berlangsung. Warga tengah menghadapi persidangan pada Perkara Nomor 979–984/Pid.B/2025/PN Bdg yang mengkriminalisasi enam warga Sukahaji. Namun tidak berhenti sampai di situ, hari ini, Rabu (03/12/2025), serangan kembali datang kepada warga yang masih bertahan. Terdapat kiriman ratusan orang tidak dikenal ke lahan Sukahaji. Mereka datang membawa senjata tajam lengkap dengan alat berat (beko) untuk menggusur paksa.
Ancaman kepada warga sebelumnya telah datang melalui surat paksaan pengosongan lahan pada Jumat (28/11/2025). Melalui surat tersebut, warga diancam akan ditertibkan secara paksa dengan menurunkan 1.000 personel serta pengiriman alat berat. Sejak surat itu diterima, warga terus melakukan ronda siang dan malam.
Hari ini warga mendapati ratusan orang tidak dikenal (baca: ormas yang mengatasnamakan PT X Ressi Jaga Nusantara) tiba di lahan sejak sekitar pukul 09.00 WIB. Tak lama setelah itu, ormas melakukan penyerangan terhadap warga yang tengah berjaga melindungi lahan.
“Mau saya bubarkan atau bubar sendiri?!” teriak salah seorang dari ormas tersebut kepada ibu-ibu yang berjaga di barisan paling depan. Mereka terus mengeluarkan sumpah serapah dan kalimat-kalimat ancaman kepada warga.
Saat warga bergeming tidak mau meninggalkan lahan, terdapat anggota ormas yang mengacungkan senjata api dan mengarahkannya ke warga. Dua orang warga terkena tembakan dari senjata api tersebut. Satu orang terkena di kaki, dan satu lainnya di lengan.
Banyak dari mereka juga membawa senjata tajam dan bambu runcing. Saat warga terus berupaya mempertahankan lahannya, puluhan orang terkena lemparan batu dari ormas. Satu orang terkena sabetan senjata tajam di kepala dan mengalami patah tulang jari, beberapa lainnya terkena lemparan batu hingga mengalami luka di kepala, serta memar di pundak akibat pukulan senjata. Satu perempuan mengalami luka akibat terkena sabetan lemparan benda tajam.
Selain korban luka-luka, empat keluarga harus kehilangan rumah tempat mereka bernaung. Menjelang sore, ormas melakukan penghancuran rumah warga yang masih dihuni dengan menggunakan beko. Banyak barang berharga di dalam rumah hilang (dijarah). Dilaporkan bahwa televisi dan telepon genggam menjadi barang yang dijarah oleh orang-orang yang merusak rumah tersebut.
Penggusuran paksa yang dilakukan oleh ormas tertentu dengan mengerahkan massa, menggunakan cara-cara intimidatif, dan melakukan penyerangan fisik merupakan bentuk main hakim sendiri (eigenrichting). Hal ini jelas dilarang oleh undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang juga mengatur sanksi bagi pelanggarnya.
Lebih dari itu, aksi seperti ini kerap mengandung unsur pidana, seperti pengancaman, kekerasan, atau perusakan milik orang lain, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Praktik tersebut tidak hanya merampas hak-hak warga negara secara tidak adil, tetapi juga merusak tatanan hukum dan menciptakan budaya kekerasan dalam penyelesaian konflik.
Lebih dari sekadar pelanggaran prosedur hukum, aksi ini juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Sesuai definisi forced eviction dari Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, tindakan mengusir individu atau komunitas dari rumah dan tanah yang mereka huni secara paksa tanpa memberikan perlindungan hukum atau alternatif pemukiman yang layak merupakan pelanggaran HAM.
Penggusuran paksa oleh ormas tidak hanya merusak sendi-sendi hukum dengan mengabaikan proses peradilan yang sah, tetapi juga secara konkret melanggar hak dasar warga atas tempat tinggal yang aman, keamanan pribadi, serta perlindungan dari perlakuan sewenang-wenang. Kesemuanya merupakan pilar penting hak asasi manusia.
Saat pelanggaran hukum dan HAM terjadi secara terang-terangan, negara memilih abai. Padahal negara telah diberikan alat keamanan berupa institusi kepolisian, yang justru menonton dan berpura-pura tuli. Deretan pasal yang dilanggar dalam peristiwa ini tidak membuat aparat kepolisian cepat bertindak.
Serangan hari ini kembali menegaskan bahwa konflik tanah Sukahaji bukan sekadar sengketa agraria biasa, melainkan potret paling telanjang dari penyalahgunaan kekuasaan, pembiaran negara, dan pengerahan kelompok non-negara untuk menundukkan warga yang mempertahankan hak konstitusionalnya. Di tengah proses peradilan yang masih berlangsung, ketika enam warga Sukahaji dikriminalisasi, negara justru membiarkan kekerasan ekstra-yudisial dilakukan secara terang-terangan oleh kelompok bersenjata.
Peristiwa ini tidak bisa dipandang sebagai insiden sporadis, tetapi sebagai mekanisme sistematis untuk mematahkan perlawanan warga, menggunakan pola yang kerap muncul dalam konflik agraria: kriminalisasi, intimidasi, pengerahan ormas sebagai alat tekanan, serta pembiaran aparat. Aparat kepolisian yang hadir lebih dari delapan jam setelah kekerasan berlangsung memperkuat dugaan kuat bahwa negara bukan sekadar gagal hadir, tetapi secara aktif membiarkan kekerasan terjadi.
Hak warga atas tanah, tempat tinggal, rasa aman, dan perlindungan dari kekerasan adalah hak konstitusional. Ketika negara lalai bahkan dalam tugas paling dasar, yaitu melindungi warga dari serangan fisik, negara telah melakukan bentuk lain dari kekerasan: kekerasan melalui pembiaran (violence by omission).
Berdasarkan seluruh rangkaian kekerasan serta pelanggaran hukum dan HAM yang terjadi, kami menyampaikan tuntutan sebagai berikut:
1. Mengutuk keras seluruh bentuk kekerasan, intimidasi, pengrusakan, penembakan, dan penggusuran paksa yang dilakukan oleh kelompok ormas terhadap warga Sukahaji.
2. Menuntut Kapolda Jawa Barat dan Kapolrestabes Bandung untuk:
- ● Segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku penembakan, pengeroyokan, pengrusakan rumah, dan penjarahan.
- ● Mengusut tuntas keterlibatan aktor-aktor yang mengorganisir, mendanai, atau mengerahkan ormas untuk melakukan tindak kekerasan.
- ● Menindak aparat yang lalai dan membiarkan kekerasan terjadi selama berjam-jam.
3. Menghentikan seluruh upaya kriminalisasi terhadap enam warga Sukahaji. Proses hukum tidak boleh dijadikan alat tekanan untuk memuluskan kepentingan pihak tertentu dalam konflik agraria.
4. Menuntut Pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Kementerian ATR/BPN untuk:
- ● Segera melakukan audit konflik agraria di Sukahaji secara transparan.
- ● Menjamin perlindungan hukum kepada warga yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di atas tanah tersebut.
- ● Menghentikan seluruh rencana penggusuran, baik secara langsung maupun melalui pihak ketiga seperti ormas.
5. Meminta Komnas HAM RI melakukan penyelidikan pro justicia atas dugaan pelanggaran HAM berupa penyerangan sistematis dan terkoordinasi terhadap warga.
6. Menuntut pemulihan menyeluruh bagi warga, termasuk:
- ● Perawatan medis bagi korban luka.
- ● Penggantian kerugian atas rumah dan barang-barang yang dirusak serta dijarah.
- ● Jaminan perlindungan keamanan bagi seluruh warga Sukahaji.
7. Menyerukan masyarakat sipil, organisasi pro-demokrasi, dan jaringan advokasi agraria untuk memperluas solidaritas, mengawasi proses hukum, dan memastikan kasus ini tidak senyap.
Narahubung: +62 822-5884-3986 (LBH Bandung)
Editor: Andrianor











Leave a Reply