Ilustrasi: PXHere
Undang-undang KUHP, yang akan berlaku Januari 2026, mendapat catatan tersendiri dari para pengamat hukum yang peduli dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Salah satunya adalah penghapusan UU No. 1/PNPS/1965. Pada UU KUHP, Pasal-pasal yang mengatur Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama atau Kepercayaan, terbentang dari pasal 300 hingga 306.
Untuk mengetahui peluang dan tantangan apa yang terdapat pada UU KUHP ini, Koalisi Advokasi KBB Indonesia menyelenggarakan Diskusi Virtual Bulanan Menanggapi KUHP 2023: Terkait Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB), Jum’at, 26 Juli 2024. Tiga peneliti hukum hadir sebagai pemantik: Asfinawati (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Joanna Poerba (Institute for Criminal Justice Reform); dan Nella Sumika Putri (Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran).
Perkara Hasutan
“Di Pasal 300, misalnya, hukuman pidana tidak bisa lagi menyasar orang yang membuat penafsiran yang dianggap menyimpang,” kata Asfinawati. Ia melihat hal ini sebagai peluang untuk advokasi ekspresi keberagamaan seseorang atau suatu komunitas yang selama ini kerap mengalami kriminalisasi.
Meski demikian, ia juga menemukan masalah di dalam penggunaan istilah “di muka umum. Dalam pasal 300 dan 302, ungkapan ‘di muka umum’ meliputi pula segala ruang yang luas dan terbuka. “Di tempat yang khalayak ramai dapat mengetahui, di mana ada orang-orang yang bisa menguping, itu juga masuk ke dalam definisi ‘di muka umum’,” tambah Asfin.
Selain itu, masalah bisa muncul pula ketika pasal ini dikaitkan dengan UU ITE. Di dalamnya terdapat larangan menyadap tetapi tidak untuk menguping. Konsekuensinya adalah segala diskusi kritis yang terbatas bisa terkena pasal ini, jika ada pihak lain yang menguping dan mengartikan diskusi seperti itu sebagai hasutan.Tak hanya itu, Asfinawati juga melihat tiadanya pasal yang mempersoalkan sebaliknya, yakni hasutan agar orang beragama atau berkepercayaan, merupakan bias.
Asfinawati lantas menyoroti isi pasal yang bisa berbeda dari cara pemaknaannya. Pasal 28 (2) UU ITE yang juga terkait dengan agama, sehingga dianggap sesuai dengan pasal 300 dan 302 (1), mungkin bisa berkembang ke arah pemaknaan itu. “Bukan hanya perbuatan yang menyuarakan permusuhan pada orang beragama, tetapi (pasal ini) juga menyasar agama. Siapa yang bisa mewakili?” tanya dia. “Kalau ada seorang hakim menggunakan pasal ini, mayoritas keyakinan yang dianut sebagian masyarakat akan menjadi dasar pemidanaan,” tambahnya.
Kita tak bisa memungkiri keberadaan relasi kuasa, sehingga kemungkinan besar yang akan dirugikan adalah kelompok minoritas. Laporan orang menjadi dasar polisi menangani kasus.
Menurut Asfinawati, hukum perlu dipandang sebagai makna dan interaksi, bukan sekadar sebagai norma. “Sambil melakukan perubahan di tataran norma hukum, saya mengajak kita semua untuk memperjuangkan makna baru mengenai banyak hal,” tegasnya. Ia menginginkan orang tidak lagi menafsirkan agama secara kelembagaan dan esensial, melainkan apa yang diyakini individu penganutnya dan kemungkinkan akan didiskriminasi.
Tumpang Tindih
Dalam pasal lain, Johanna melihat potensi tumpang tindih pasal 300 dan pasal 301. Ada ungkapan “Perbuatan yang bersifat permusuhan…” di pasal 300, tetapi unsur-unsurnya tidak dibuat lebih spesifik. Hukuman yang tertera di pasal itu adalah penjara 3 tahun. “Namun, pasal 301 merincikan lagi apa yang dimaksud sebagai perbuatan yang bersifat permusuhan, dengan hukuman yang meningkat menjadi 5 tahun,” kata Johanna.
Di sisi lain, unsur pidana di pasal 242 dan 243 UU KUHP mirip dengan pasal 300, tetapi mencakup ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. Unsur perbuatannya sama persis dan agama masuk di sana.
“Dengan masuknya unsur agama dan kepercayaan, ia jadi membingungkan. Pembedaannya hanya akibatnya, yakni menimbulkan kekerasan, tetapi ancaman pidanya lebih ringan, yakni 4 tahun,” kata Joanna. Dalam rumusan di pasal 301, seseorang bisa dipidana jika menyebarkan suatu konten yang dianggap ujaran kebencian, padahal seharusnya sejalan dengan maksud di pasal 300, yakni karena ingin menyebarkan kebencian dan permusuhan.
“Kalau seorang me-retweet (dalam Twitter/X) tidak bisa dipidanakan, karena harus dilihat niatnya. Bagaimana kalau dia tidak tahu?” tanya dia. “Harus ada upaya pembatasan untuk mencegah adanya salah sasaran,” tambahnya.
Ada beberapa pesan lain yakni pasal 303-305 terkait tindak pidana seorang yang membuat gaduh, mengganggu, dan merintangi ibadah. Ini sebenarnya bukan pasal yang sepenuhnya baru, karena terdapat padanannya di KUHP sekarang. Namun, pasal ini bisa digunakan untuk melindungi kelompok marjinal selama unsurnya dipahami dengan ketat.
“Yang penting untuk dipahami adalah pasal ini harus dibedakan dari pasal penghinaan individu, karena tujuan pasal ini adalah menjamin pelaksanaan ibadah,” tambahnya.
Strategi ke Depan
Tujuan KUHP 2023 jelas untuk menjadi lebih baik dari KUHP. Yang baru darinya adalah kemiunculan istilah kepercayaan dan kelompok atas dasar agama, ancaman pidana tampak lebih rendah tetapi di pasal tertentu justru lebih berat.
“Di pasal 302, misalnya, apakah seseorang yang tidak beragama atau berkepercayaan itu melawan hukum?” tanya Nella. Di pasal ini, negara ingin memastikan lingkup agama hanya merujuk pada agama yang eksistensinya diakui di Indonesia. Apakah frase ‘yang ada’ mencakup yang tidak diakui di Indonesia? Ada juga pasal tertentu yang secara tidak langsung berdampak pada kelompok minoritas agama/kepercayaan.
Bagaimana kita menjaga putusan itu tetap netral, independen, dan tidak memihak. “Tujuan yang ingin kita capai adalah sosialisasi, pendidikan, konsistensi, dan advokasi. Kita perlu memperkuat pemahaman masyarakat terkait unsur agama dalam KUHP baru, berdasrkan peran kita di masyarakat melalui pedoman,” tegas Nella. Memasukkan penafsiran yang sudah di-setting dan nilai HAM sebagai bahan kurikulum menjadi penting bagi strategi advokasi masyarakat sipil.
Leave a Reply