Oleh: Arina Rahmatika
Ringkasan:
● Banyak kelompok keagamaan di Indonesia masih harus beribadah diam-diam karena takut intoleransi dan persekusi.
● Pembiaran terhadap pembubaran acara keagamaan menunjukkan lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan beragama.
● Kebebasan beragama sejati membutuhkan empati dan jaminan rasa aman bagi semua warga negara.
Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, keluarga kami bersiap menyambut kedatangan seorang habib dari Gresik yang akan mengisi majelis menjelang haul Habib Ali bin Al-Habsyi di Solo. Sudah tiga tahun kami rutin menghadiri pengajiannya di Yogyakarta. Namun, tahun ini ada yang berbeda. Beberapa hari sebelum acara, panitia majelis mengirim pesan pengumuman di grup WhatsApp, yang isinya membuat saya terdiam lama.
Isinya sederhana, tetapi membuat saya terkejut ketika itu. Acara tetap diadakan untuk umum, tetapi mohon tidak disebarkan lewat pamflet, media sosial, atau status WhatsApp. Sebarkanlah cukup lewat jalur pribadi, dari orang ke orang. Alasannya, sedang berhati-hati atas maraknya kasus anti-habaib dan sweeping PWI-LS. Bahkan, ditambahkan pula, “Kebijakan ini jangan dibicarakan di luar majelis.”
Saya membaca ulang pesan itu beberapa kali. Ada rasa getir yang pelan-pelan muncul di dada. Rupanya, beginilah rasanya mengadakan acara keagamaan dengan hati-hati, bahkan dengan sedikit rasa takut. Takut disalahpahami, takut diserang, takut di-sweeping oleh kelompok yang mengaku paling benar.
Seumur hidup, saya tidak pernah membayangkan mengikuti pengajian yang harus disembunyikan. Bukan karena melanggar hukum, bukan karena berisi ajaran aneh, tetapi semata karena kekhawatiran akan kebencian yang kian tumbuh di sekitar kita.
Sekilas, mungkin ini tampak remeh karena toh acara tetap berjalan, hanya tidak diumumkan secara terbuka. Tetapi, di balik itu, ada perasaan yang cukup mengernyitkan dahi, bahwa ibadah yang seharusnya menjadi sumber ketenangan justru dilakukan dengan waswas. Bahwa di tengah seruan kebebasan beragama, masih ada warga yang harus menunduk dan bersembunyi demi bisa berdoa bersama.
Pembubaran Berbagai Acara Keagamaan
Saya jadi teringat seorang teman, Ruhy, seorang penganut Syiah yang pernah bercerita tentang pengalamannya di masa SMP. Saat itu, sekolahnya hendak mengadakan peringatan Asyura, hari yang penting bagi Syiah untuk mengenang pengorbanan Imam Husain. Namun, acara itu tiba-tiba dibubarkan oleh sekelompok orang yang datang membawa spanduk besar bertuliskan “Tolak Syiah”.
Ruhy bercerita bagaimana ia bersembunyi di balik asrama sekolahnya, menyaksikan orang-orang berteriak-teriak di halaman sekolah, sementara peserta peringatan Asyura tampak panik dan beberapa yang lainnya ketakutan. “Sejak itu,” katanya pelan, “aku merasa takut menjadi minoritas.”
Cerita itu dulu hanya saya dengar dengan empati; saya merasa kasihan, tetapi tak sungguh-sungguh memahami. Namun kini, ketika saya sendiri harus mengikuti pengajian tanpa pamflet, tanpa unggahan, tanpa pengumuman publik, barulah saya benar-benar mengerti sedikit dari rasa itu.
Rasa takut yang datang bukan karena melakukan kesalahan, tetapi karena keyakinan bisa dipersekusi kapan saja. Rasa sedih karena kebaikan pun bisa dicurigai. Rasa getir karena iman harus dijaga dalam diam.
Tak hanya Syiah. Tahun lalu, Jalsah Salanah Ahmadiyah, sebuah pertemuan tahunan yang diikuti ribuan jamaah dari berbagai daerah, juga dibubarkan paksa di Kuningan. Mereka dituduh menyimpang, padahal kegiatan itu rutin diadakan setiap tahun dan selalu berlangsung damai.
Kita sering mendengar alasan pembubaran seperti itu dibungkus dengan kata-kata halus seperti “demi menjaga ketertiban”, “menghindari bentrok”, atau “karena ada keberatan dari masyarakat”. Namun sesungguhnya, itu adalah bentuk pembiaran terhadap intoleransi.
Negara seolah menempatkan kelompok minoritas sebagai pihak yang salah karena keberadaannya dianggap mengganggu. Padahal, bukankah negara justru seharusnya hadir untuk menjamin hak setiap warga agar bisa beribadah dan berkumpul dengan aman, tanpa takut dibubarkan?
Ironi di Negeri Indonesia
Majelis yang saya hadiri tidak dibubarkan. Tetapi kebijakan untuk tidak mengumumkan secara terbuka sudah cukup menyedihkan. Ia menjadi simbol kecil dari ketakutan yang menular, bahwa ekspresi keagamaan kini tidak lagi semata urusan spiritual, tetapi juga urusan keamanan.
Ironis rasanya, ketika Indonesia selalu bangga menyebut diri sebagai negara yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika dan menjamin kebebasan beragama. Kalimat itu indah di pidato pejabat, tetapi rapuh di lapangan.
Dalam praktiknya, kebebasan itu masih sangat timpang. Ada yang boleh membangun tempat ibadah megah, mengadakan tabligh akbar di stadion, dan disiarkan di televisi nasional. Namun, ada pula yang harus bersembunyi di rumah-rumah kecil, menutup tirai jendela agar tidak diketahui.
Perbedaan keyakinan masih sering dianggap ancaman, bukan bagian dari keragaman. Sementara intoleransi terus tumbuh, sering kali disuburkan oleh narasi keagamaan yang sempit dan aparat yang enggan melindungi kelompok minoritas.
Saya tidak menulis ini untuk menyalahkan siapa pun. Tidak juga untuk membandingkan mana kelompok yang paling benar. Saya hanya ingin mengajak kita semua menengok kembali wajah kebangsaan kita hari ini, apakah benar kita sudah setoleran yang kita klaim?
Pengalaman kecil mengikuti majelis “diam-diam” ini memberi saya pelajaran penting: ternyata toleransi tidak akan tumbuh hanya karena kita, mayoritas, merasa aman. Ia baru tumbuh ketika kita mau merasakan keresahan mereka yang tak punya ruang untuk mengekspresikan imannya.
Empati adalah Kunci
Empati adalah pintu pertama menuju toleransi. Ia muncul ketika kita berani menempatkan diri pada posisi orang lain, merasakan ketakutan mereka, kegelisahan mereka, dan kesedihan mereka.
Dan malam itu, ketika saya duduk di antara jemaah lain yang datang diam-diam tetapi penuh semangat, saya merasakan sesuatu yang paradoksal: sebuah rasa damai di tengah ketegangan. Kami membaca maulid, berselawat, berdoa untuk keselamatan bangsa. Tidak ada orasi politik, tidak ada ujaran kebencian. Hanya kerinduan kepada Rasulullah dan harapan agar negeri ini lebih tenang.
Namun, di sela doa itu, saya masih bertanya dalam hati, Sampai kapan kita harus mengaji diam-diam di negeri yang mengaku toleran?
Barangkali inilah ujian kita bersama sebagai bangsa yang majemuk: apakah kita mampu menjaga ruang keberagaman tanpa rasa curiga, atau justru membiarkannya menyempit pelan-pelan karena ketakutan.
Saya percaya, Indonesia yang damai bukan utopia. Namun, ia hanya bisa terwujud bila setiap warga, tanpa memandang aliran, mazhab, atau identitas keagamaan, diberi hak yang sama untuk beribadah dan berkumpul.
Tugas kita adalah memastikan bahwa tidak ada lagi Ruhy yang harus belajar “beribadah diam-diam”. Tidak ada lagi majelis yang harus disembunyikan. Tidak ada lagi pertemuan iman yang dicurigai.
Kebebasan beragama sejati bukan hanya soal hukum dan konstitusi, tetapi tentang rasa aman dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Dan kemanusiaan itu hanya bisa tumbuh ketika kita belajar melihat orang lain bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesama pencari Tuhan.
Malam itu saya pulang dari majelis dengan hati penuh doa. Doa untuk bangsa yang saya cintai, agar benar-benar bisa menjadi tanah air yang damai bagi semua. Doa agar tak ada lagi yang perlu berzikir dengan takut, beribadah dengan sembunyi, atau mencintai Tuhan dengan waswas.
Karena seharusnya, di negeri yang katanya menjunjung tinggi toleransi, tak ada satu pun doa yang perlu dibisikkan diam-diam.
Editor: Andrianor









Leave a Reply