Oleh: Muhamad Sidik Pramono | Republikasi dari eLSA Online
Kota Semarang menjadi salah satu wilayah yang inklusif terhadap penganut Ahmadiyah. Di saat wilayah lain seperti Nusa Tenggara Barat masih belum menerima warga Ahmadiyah. Di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah tersebut, menjadi ruang yang akomodatif dan menjamin hak dan keberadaan dari jemaat Ahmadiyah.
Sampai dengan saat ini, tidak ada diskriminasi, persekusi yang dialami jemaat Ahmadiyah di Kota Semarang. Alih-alih mendiskriminasi dan menstigma sebagai ajaran yang menyimpang dari Islam, masyarakat justru menerima kehadiran Ahmadiyah dengan baik.
Ada beberapa hal yang menjadi penanda bahwa Kota Semarang menjadi wilayah yang inklusif terhadap Ahmadiyah. Pertama, dapat dilihat dari relasi keseharian di Masjid Nusrat Jahan yang terletak di darah Simpang Lima, Kota Semarang.
Masyarakat selain dari Ahmadiyah sering kali turut menunaikan sholat berjamaah dan sholat Jumat di Masjid Nusrat Jahan. Masjid Nusrat Jahan juga sering menjadi tempat istirahat untuk sekedar rebahan ataupun tidur siang bagi masyarakat yang bekerja di sekitar wilayah tersebut.
Kedua, kontribusi atau bantuan yang diberikan oleh warga Ahmadiyah kepada masyarakat Kota Semarang selalu disambut baik. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) melalui badan ataupun lembaga amal seperti Humanity First turut terlibat membantu masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya ketika terjadi bencana alam seperti banjir. Sebagai contoh ketika terjadi banjir akibat tanggul penahan laut roboh pada Mei 2022, ataupun banjir yang hampir terjadi setiap tahun ketika musim hujan melanda.
Ahmadiyah dengan lembaga kemanusiaannya, Humanity First selalu terlibat dalam relawan dan turut membantu korban banjir. Selain itu, ketika penggusuran Kampung Tambakrejo dan juga saat pandemic Covid-19 Ahmadiyah juga turut berperan aktif dalam memberikan bantuan kepada masyarakat Kota Semarang bersama dengan komunitas lainnya seperti Gusdurian Peduli, Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang, dan komunitas lainnya.
Ketiga, tokoh dan jemaat Ahmadiyah turut terlibat dalam jejaring lintas agama di Kota Semarang. Tokoh dan jemaat Ahmadiyah turut terlibat dalam jejaring lintas agama secara struktural dan kultural–di luar pemerintah. Pada konteks lintas agama struktural, mubaligh Ahmadiyah Jawa Tengah, Maulana Saefullah Ahmad Fafouk terlibat menjadi pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan dewan pembina Generasi Muda (GEMA) FKUB Provinsi Jawa Tengah (2021-2024).
Selain itu, salah satu pengurus Humanity First, Anton Baskoro menjadi wakil ketua GEMA FKUB Provinsi Jawa Tengah periode 2021-2024. Sementara itu, dalam jejaring lintas agama kultural, baik tokoh agama ataupun jemaat Ahmadiyah juga turut terlibat. Jemaat Ahmadiyah menjadi unsur penting dalam membangun gerakan lintas agama secara kultural. Kantor JAI sering digunakan untuk pertemuan serta konsolidasi gerakan lintas agama di Kota Semarang.
Keempat, jemaat Ahmadiyah juga turut terlibat dalam kegiatan-kegiatan lintas agama seperti Forum Group Discussion (FGD), dialog lintas agama, ataupun pelatihan dari lembaga-lembaga lainnya. Keterlibatan jemaat Ahmadiyah bukan hanya sebagai peserta, namun juga tidak jarang menjadi narasumber dialog antar agama di masyarakat ataupun di kampus seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Universitas Negeri Semarang (Unnes) ataupun di Universitas Diponegoro (Undip).
Masih banyak contoh lain sebagai bukti bahwa Kota Semarang menjadi ruang yang inklusif dan menerima Ahmadiyah menjadi salah satu komunitas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lain sebagainya.
Belajar dari Kota Semarang
Realitas yang ada di Kota Semarang ialah contoh baik bagi daerah lain. Pada saat tempat lain masih struggle dan belum bisa menerima bahkan melakukan diskriminasi terhadap jemaat Ahmadiyah. Kondisi Kota Semarang yang menjadi salah satu wilayah paling inklusif terhadap Jemaat Ahmadiyah ini bukan taken for granted-ada begitu saja. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya kota yang menerima Ahmadiyah sebagai bagian dari keberagaman agama.
Melihat realitas saat ini di Kota Semarang, kita perlu melihat ke belakang. Hal ini dilatarbelakangi munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri tentang Ahmadiyah tahun 2008. Pasca diterbitkan SKB tersebut banyak daerah mengeluarkan aturan yang memiliki muatan diskriminatif terhadap Ahmadiyah.
2011 merupakan momen puncak dari maraknya penerbitan regulasi yang memiliki muatan diskriminatif terhadap Ahmadiyah. Setidaknya ada 28 peraturan dikeluarkan di berbagai daerah. Bahkan pasca 2011, di beberapa daerah masih menerbitkan aturan yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah. Merunut data dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang sampai dengan 2021 terdapat 66 aturan yang memiliki muatan diskriminatif terhadap Ahmadiyah (Pramono, 2021).
Tidak seperti daerah lain, Kota Semarang sebagai episentrum sekaligus Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah dari dulu hingga sekarang secara konsisten tidak menerbitkan aturan yang mendiskreditkan Ahmadiyah. Tidak adanya penebitan aturan diskriminatif tersebut memainkan peran penting dalam menciptakan wilayah yang inklusif terhadap Ahmadiyah. Hal tersebut karena di daerah-daerah aturan pemerintah dijadikan dasar untuk melakukan diskriminais hingga persekusi terhadap Ahmadiyah.
Selain akar sejarah dan otoritas struktural, inklusivitas Kota Semarang terhadap Ahmadiyah juga dipengaruhi dua faktor lainnya. Pertama, peran jejaring lintas agama. Kedua, peranan tokoh agama yang sekaligus menjadi tokoh masyarakat. Jejaring lintas agama merupakan faktor penting dalam menciptakan dan memelihara realitas yang inklusif terhadap Ahmadiyah di Kota Semarang. Jejaring lintas agama ini merupakan kelompok yang menerima Ahmadiyah sebagai bagian dari multikulturalisme identitas agama.
Melalui jejaring lintas agama Kota Semarang ini pula, Ahmadiyah mendapat kesempatan untuk terlibat dalam perjumpaan dengan identitas agama lainnya. Jejaring lintas agama Kota Semarang ini yang diinisiasi oleh Pelita Semarang menjadi penghubung antara masyarakat sipil dengan Ahmadiyah. Selain menjadi penghubung, jejaring lintas agama juga menjadi agen untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan bersama, jejaring lintas agama Kota Semarang juga menjadi agen untuk melawanan serta meluruskan narasi yang keliru tentang Ahmadiyah.
Peran tokoh agama sekaligus menjadi tokoh masyarakat juga penting dalam menciptakan Kota Semarang yang inklusif terhadap Ahmadiyah. Peran tokoh agama yang sekaligus tokoh masyarakat ialah memberikan ruang untuk Ahmadiyah agar dapat diketahui banyak kalangan. Di samping itu, para tokoh ini juga memainkan peran dalam memberi kesempatan jemaat Ahmadiyah dapat menduduki jabatan penting di sebuah organisasi. Sebagai contoh, Ketua FKUB Provinsi Jawa Tengah 2019-2024, Taslim Syahlan memberi kepercayaan Mubaligh Jawa Tengah, Maulana Saefullah untuk menjadi Dewan Pembina Generasi Muda FKUB Provinsi Jawa Tengah.
Belajar dari Kota Semarang, ruang inklusif terhadap Ahmadiyah ataupun identitas agama lain dapat diciptakan atau dikonstruksi di berbagai tempat. Berangkat dari realitas tersebut, kunci membangun inklusivitas terletak pada kolaborasi antar stakeholder baik pemerintah, masyarakat, jejaring lintas agama dan juga tokoh masyarakat. Masing-masing pihak juga harus memiliki kehendak baik dan mengesampingkan prasangka-prasangka buruk terhadap liyan. Dengan demikian, penerimaan terhadap minoritas agama apapun dapat diupayakan. Penerimaan tersebut akan membawa pada keselarasan yang berbasis pada ikatan solidaritas sebagai masyarakat Indonesia.
Leave a Reply