Informasi Jadwal Agenda Kegiatan Terkini

Menguji Klaim Kebebasan Beragama

Oleh: Tedi Kholiludin | Republikasi dari elsaonline

Saya membaca artikel yang ditulis Jonathan Fox, “What is Religious Freedom and Who Has It?” yang terbit 2021 di Social Compass. Fox mencoba mengukur kebebasan beragama dari hampir 200 negara dunia. Pintu masuknya adalah ukuran hubungan antara agama dan negara berdasarkan data empiris. Tujuannya menilai bagaimana negara mendukung atau membatasi agama, mengatur agama mayoritas dan minoritas atau keterlibatannya dalam konflik keagamaan. Periode pengumpulan datanya adalah antara 1990-2014. Fox menyebut proyeknya ini sebagai Religion and State Round 3 (RAS3). Saya coba menuliskan ulang poin-poin penting dari tulisan Fox sebagai bahan refleksi.

Fokus utama dalam RAS3 ada di tiga ranah. Pertama, Religious Support; bagaimana negara memberi dukungan institusional atau finansial kepada agama tertentu. Kedua, religious restrictions; sejauh mana negara membatasi praktik keagamaan (baik mayoritas maupun minoritas). Ketiga, religious discrimination and violence; termasuk diskriminasi hukum, larangan, penindasan, dan kekerasan terhadap kelompok agama tertentu oleh negara.

Percakapan kebebasan beragama dianggap penting karena seringkali dukungan atas hal tersebut berkaitan dengan terciptanya masyarakat stabil, mengurangi kekerasan dan juga sering dihubungkan dengan kemakmuran ekonomi. Kebijakan luar negeri juga melibatkan aspek kebebasan beragama.

Temuan dari Fox, Profesor Agama dan Politik dari Bar Ilan University ini menarik. Ia hendak menantang asumsi umum bahwa negara-negara demokratis secara otomatis menjamin kebebasan beragama. Dengan menggunakan definisi yang bervariasi dan data empiris, ia menunjukkan bahwa kebebasan beragama dalam praktik jauh lebih jarang ditemukan daripada yang sering diasumsikan. Ini juga mengarah pada kritik terhadap ketimpangan perlakuan terhadap kelompok minoritas agama di banyak negara.

Apap u standar kebebasan beragama yang digunakan, mayoritas besar negara di dunia tidak benar-benar memilikinya. Bahkan jika standar itu dilonggarkan secara signifikan, dengan mengizinkan adanya sejumlah pembatasan terhadap agama atau penerapan hukum agama oleh negara misalnya, temuan tetap menunjukkan hal yang sama. Bahkan ketika menggunakan standar yang sangat longgar sekalipun (misalnya, mengizinkan satu bentuk diskriminasi ringan terhadap minoritas agama), tetapi lebih dari 88% negara gagal memenuhinya. Karena itu, menurut Fox, negara-negara tersebut tidak dapat dianggap benar-benar bebas secara keagamaan.

Perkara serupa berlaku untuk negara-negara demokrasi liberal di Barat. Asumsi bahwa mereka menjunjung tinggi kebebasan beragama ternyata tidak terbukti. Dari 33 negara demokrasi Kristen non-Ortodoks di Eropa dan Barat, hanya dua yang memenuhi standar diskriminasi agama yang paling longgar sekalipun. Beberapa praktik pelanggaran kebebasan beragama yang ditemukan di negara-negara ini antara lain: pelarangan atau pembatasan penyembelihan halal/kosher, pelarangan pakaian keagamaan, dan regulasi terhadap sunat. Negara-negara seperti Kanada, Finlandia, Luksemburg, dan Polandia adalah sedikit dari yang tidak melakukan pelanggaran tersebut.

Beberapa negara di Afrika Sub-Sahara dan Asia memiliki tingkat kebebasan beragama yang lebih tinggi dibandingkan demokrasi liberal Barat, menurut berbagai standar yang digunakan dalam studi Fox itu. Ini menunjukkan bahwa ideologi sekularisme yang dominan di Barat justru bisa berdampak negatif terhadap kebebasan beragama, dibandingkan dengan dorongan liberalisme yang seharusnya mendukungnya.

Temuan kuncinya sebagai berikut. Pertama, negara yang benar-benar bebas diskriminasi (skor 0) sangat jarang; hanya 10% dari semua negara (183) yang mendapat skor 0. Di antara Western democracies (non-Orthodox) hanya 6.1% yang mendapat skor 0. Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim ada 6.7% mendapat skor 0.

Kedua, mayoritas negara memiliki diskriminasi sedang hingga tinggi (skor 3–5): 38.3% negara dunia mendapat skor 3 atau lebih tinggi. Bahkan di antara demokrasi Barat, hanya 9.1% yang berada di skor 0 dan 1, artinya 90% masih diskriminatif terhadap minoritas. Ketiga, negara yang dianggap “Religiously Free”: kelompok ini paling banyak berada di skor 0 dan 1 (26.3% dan 31.6%), menunjukkan bahwa negara yang tergolong “bebas beragama” tetap tidak sepenuhnya tanpa pelanggaran, meski relatif lebih baik.

Dalam soal kebebasan beragama, berdasarkan ukuran Fox, negara-negara Barat tidak selalu lebih unggu. Hanya dua negara Barat non-Ortodoks yang memperoleh skor 1 (nyaris tanpa diskriminasi) yakni Andorra dan Kanada. Negara-negara seperti AS, Australia, Belanda, Irlandia, dan lainnya memiliki skor 3–5, artinya tetap ada diskriminasi.

Negara-negara dengan mayoritas Muslim seperti Burkina Faso, Senegal, dan Guinea mendapatkan skor rendah (0 atau 1). Situasi ini menunjukkan tingkat kebebasan beragama di negara-negara tersebut relatif baik. Fakta ini sekaligus berlawanan dengan stereotip bahwa negara muslim tidak mendukung kebebasan beragama.

Keadaan di negara komunis dan mayoritas Buddha menunjukkan situasi dimana skornya rata-rata lebih tinggi (lebih diskriminatif). Standar terendah hanya dipenuhi Kuba, Mongolia dan dan Sri Lanka. Negara-negara demokrasi di luar kategori besar lainnya yang ada di skor 0 dan 1 antara lain Uruguay, Taiwan, Lesotho, Jamaika, Botswana, dll. Sementara negara non-demokrasi yang tingkat demokrasinya rendah antara lain Benin, Cameroon, Gabon, Colombia, dan Namibia. Meski begitu, sebagian besar negara di kelompok ini (non-demokrasi) tetap menunjukkan skor tinggi.

Fox menyimpulkan bahwa mayoritas negara di dunia, termasuk demokrasi liberal Barat, tidak memenuhi standar kebebasan beragama, bahkan yang paling longgar sekalipun. Ia menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak keagamaan, terutama terhadap minoritas, justru lebih sering terjadi di negara-negara Barat daripada di sejumlah negara Asia dan Afrika. Temuan ini mempertanyakan validitas klaim Barat sebagai penjaga kebebasan beragama, dan menantang kita untuk menyelidiki mengapa terdapat kesenjangan antara nilai-nilai normatif dan praktik aktual kebijakan negara.